RSS

Jumat, 21 Januari 2011

tahlilan


Dari Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, kepada yang merasa berkepentingan dari kalangan kaum Muslimin, semoga Allah menunjukkan mereka ke jalan yang diridhaiNya serta membimbing saya dan juga mereka ke jalan orang-orang yang takut dan takwa kepadaNya. Amin.

Amma ba'du,

Telah sampai kabar kepada saya, bahwa banyak orang yang menyepelekan pelaksanaan shalat berjamaah, mereka beralasan dengan adanya kemudahan dari sebagian ulama. Maka saya berkewajiban untuk menjelaskan tentang besarnya dan bahayanya perkara ini, dan bahwa tidak selayaknya seorang Muslim menyepelekan perkara yang diagungkan Allah di dalam KitabNya yang agung dan diagungkan oleh RasulNya yang mulia -shollallaahu'alaihi wasallam-.

Allah -subhanahu wata'ala- banyak menyebutkan perkara shalat di dalam KitabNya yang mulia dan mengagungkannya serta memerintahkan untuk memeliharanya dan melaksanakannya dengan berjamaah. Allah pun mengabarkan, bahwa menyepelekannya dan bermalas-malasan dalam melaksanakannya termasuk sifat-sifat kaum munafiqin.

Allah -subhanahu wata'ala- berfirman,
"Peliharalah segala shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdi-rilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'." (Al-Baqarah: 238).

Bagaimana bisa diketahui bahwa seorang hamba memelihara shalat dan mengagungkannya, sementara dalam pelaksanaannya bertolak belakang dengan saudara-saudaranya, bahkan menyepelekannya?

Allah -subhanahu wata'ala- berfirman,‏
"Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku'lah bersama orang-orang yang ruku'." (Al-Baqarah: 43).

Ayat yang mulia ini adalah nash yang menunjukkan wajibnya shalat berjamaah dan ikut serta bersama orang-orang yang melaksa-nakannya. Jika yang dimaksud itu hanya sekedar melaksanakannya (tanpa perintah berjamaah), tentu tidak akan disebutkan di akhir ayat ini kalimat (dan ruku'lah bersama orang-orang yang ruku'), karena perintah untuk melaksanakannya telah disebutkan di awal ayat.

Allah -subhanahu wata'ala- berfirman,‏
"Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, lalu shalatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata." (An-Nisa': 102).

Allah -subhanahu wata'ala- mewajibkan pelaksanaan shalat secara berjamaah dalam suasana perang, lebih-lebih dalam suasana damai. Jika ada se-seorang yang dibolehkan meninggalkan shalat berjamaah, tentu barisan yang siap menghadap serangan musuh itu lebih berhak untuk diperbolehkan meninggalkannya. Namun ternyata tidak demikian, karena melaksanakan shalat secara berjamaah termasuk kewajiban utama, maka tidak boleh seorang pun meninggalkannya.

Disebutkan dalam kitab ash-Shahihain, dari Abu Hurairah -rodliallaahu'anhu-, dari Nabi -shollallaahu'alaihi wasallam-, bahwa beliau bersabda,

لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِالصَّلاَةِ فَتُقَامَ ثُمَّ آمُرَ رَجُلاً يَؤُمُّ النَّاسَ ثُمَّ أَنْطَلِقَ بِرِجَالٍ مَعَهُمْ حُزَمٌ مِنْ حَطَبٍ إِلَى قَوْمٍ لاَ يَشْهَدُوْنَ الصَّلاَةَ فَأَحْرِقَ عَلَيْهِمْ بُيُوْتَهُمْ بِالنَّارِ
"Sungguh aku sangat ingin memerintahkan shalat untuk didirikan, lalu aku perintahkan seorang laki-laki untuk mengimami orang-orang, kemudian aku berangkat bersama beberapa orang laki-laki dengan membawa beberapa ikat kayu bakar kepada orang-orang yang tidak ikut shalat, lalu aku bakar rumah-rumah mereka dengan api tersebut."
(Al-Bukhari, kitab al-Khushumat (2420), Muslim, kitab al-Masajid (651)).

Dalam Shahih Muslim disebutkan, dari Abdullah bin Mas'ud -rodliallaahu'anhu-, ia berkata, "Aku telah menyaksikan kami (para sahabat), tidak ada seorang pun yang meninggalkan shalat (berjamaah) kecuali munafik yang nyata kemunafikannya atau orang sakit. Bahkan yang sakit pun ada yang dipapah dengan diapit oleh dua orang agar bisa ikut shalat (berjamaah)." Ia juga mengatakan, "Sesungguhnya Rasulullah -shollallaahu'alaihi wasallam- telah mengajarkan kepada kita sunanul huda, dan sesungguhnya di antara sunanul huda itu adalah shalat di masjid yang di dalamnya dikumandangkan adzan." (HR. Muslim, kitab al-Masajid (654)).

Lain dari itu ia juga mengatakan, "Barangsiapa yang ingin bertemu Allah kelak sebagai seorang Muslim, maka hendaklah ia memelihara shalat-shalat yang diserukan itu, karena sesungguhnya Allah telah menetapkan untuk Nabi kalian -shollallaahu'alaihi wasallam- sunanul huda, dan sesungguhnya shalat-shalat tersebut termasuk sunanul huda. Jika kalian shalat di rumah kalian seperti shalatnya penyimpang ini di rumahnya, berarti kalian telah meninggalkan sunnah Nabi kalian. Jika kalian meninggalkan sunnah Nabi kalian, niscaya kalian tersesat. Tidaklah seseorang bersuci dan membaguskan bersucinya, kemudian berangkat ke suatu masjid di antara masjid-masjid ini, kecuali Allah akan menuliskan baginya satu kebaikan untuk setiap langkahnya dan dengannya diangkat satu derajat serta dengannya pula dihapuskan darinya satu kesalahan. Sungguh aku telah menyaksikan kami (para sahabat), tidak ada seorang pun yang meninggalkan shalat (berjamaah) kecuali munafik yang nyata kemunafikannya, dan sungguh seseorang pernah dipapah dengan diapit oleh dua orang lalu diberdirikan di dalam shaf (shalat)." (HR. Muslim, kitab al-Masajid (257, 654)).

Masih dalam Shahih Muslim, disebutkan riwayat dari Abu Hurairah -rodliallaahu'anhu-, bahwa seorang laki-laki buta berkata kepada Rasulullah, "Wahai Rasulullah, tidak ada orang yang menuntunku pergi ke masjid. Apakah aku punya keringanan untuk shalat di rumahku?" Nabi -shollallaahu'alaihi wasallam- bertanya,

هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلاَةِ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: فَأَجِبْ
"Apakah engkau mendengar seruan untuk shalat?" ia menjawab, "Ya", beliau berkata lagi, "Kalau begitu, penuhilah." (HR. Muslim, kitab al-Masajid (653)).

Banyak sekali hadits yang menunjukkan wajibnya shalat berjamaah dan wajibnya pelaksanaan shalat di rumah-rumah Allah yang diizinkan Allah untuk diserukan dan disebutkan namaNya.

Maka yang wajib bagi setiap Muslim adalah memperhatikan perkara ini, bersegera melaksanakannya dan menasehati anak-anaknya, keluarganya, tetangga-tetangganya dan saudara-saudaranya sesama Muslim, sebagai pelaksanaan perintah Allah dan RasulNya dan sebagai kewaspadaan terhadap larangan Allah dan RasulNya, serta untuk menghindarkan diri dari menyerupai kaum munafiqin yang mana Allah telah menyebutkan sifat-sifat mereka yang buruk dan kemalasan mereka dalam melaksankan shalat. Allah -subhanahu wata'ala- berfirman,

"Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut nama Allah kecuali sedikit sekali. Mereka dalam keadaan ragu-ragu antara yang demikian (iman dan kafir); tidak masuk kepada golongan ini (orang-orang beriman) dan tidak (pula) kepada golongan itu (orang-orang kafir). Barangsiapa yang disesatkan Allah, maka kamu sekali-kali tidak akan mendapat jalan (untuk memberi petunjuk) baginya." (An-Nisa': 142-143).

Lain dari itu, karena tidak melaksanakannya secara berjamaah termasuk sebab-sebab utama meninggalkannya secara keseluruhan. Sebagaimana diketahui, bahwa meninggalkan shalat adalah suatu kekufuran dan kesesatan serta keluar dari Islam berdasarkan sabda Nabi -shollallaahu'alaihi wasallam-,

إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ
"Sesungguhnya (pembatas) antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat." (HR. Muslim, kitab al-Iman (82)- HR. Muslim dalam kitab Shahihnya, dari Jabir -rodliallaahu'anhu-).

Juga berdasarkan sabda Nabi -shollallaahu'alaihi wasallam-,

اَلْعَهْدُ الَّذِيْ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ، فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ
"Perjanjian antara kita dengan mereka adalah shalat, maka barangsiapa yang meninggalkannya berarti ia telah kafir." ( HR. Ahmad (5/346), at- Tirmidzi (2621), an-Nasa'i (1/222), Ibnu Majah (1079)).

Banyak sekali ayat dan hadits yang menyebutkan tentang agungnya shalat dan wajibnya memelihara pelaksanaanya.

Setelah tampak kebenaran ini dan setelah jelas dalil-dalilnya, maka tidak boleh seorang pun mengingkarinya hanya karena ucapan si fulan dan si fulan, karena Allah -subhanahu wata'ala- telah befirman,

"Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kem-balikanlah ia kepada Allah (al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (An-Nisa': 59).

Dalam ayat lain disebutkan,‏

"Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahNya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih." (An-Nur: 63).

Kemudian dari itu, banyak sekali manfaat dan maslahat yang terkandung di balik shalat berjamaah, di antaranya yang paling nyata adalah; saling mengenal, saling tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, saling menasehati dengan kebenaran dan kesabaran, sebagai dorongan bagi orang yang meninggalkannya, sebagai pelajaran bagi yang tidak tahu, sebagai pengingkaran terhadap kaum munafiqin dan cara menjauhi gaya hidup mereka, menampakkan syiar-syiar Allah di antara para hambaNya, mengajak ke jalan Allah -subhanahu wata'ala- dengan perkataan dan perbuatan, dan sebagainya.

Semoga Allah menunjukkan saya dan anda sekalian kepada yang diridhaiNya, dan kepada kemaslahatan urusan dunia dan akhirat, serta melindungi kita semua dari keburukan jiwa dan perbuatan kita, dan dari menyerupai kaum kuffar dan munafiqin. Sesungguhnya Dia Mahabaik lagi Mahamulia.

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wa bawakatuh. Shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi kita Muhammad, kepada keluarga dan para sahabatnya.

Sumber:
Asy-Syaikh Ibnu Baz, Tabshirah Wa Dzikra, hal. 53-57.
Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, penerbit Darul Haq.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar