RSS

Jumat, 21 Januari 2011


Nasyid apakah Bid’ah ?

Cobaan nasyid dengan label "Islamy" telah menimpa kaum Muslimin sejak lama. Pada zaman Imam Syafi'i, nasyid tersebut dinamakan at-taghbir atau qashidah sufiyah atau qashidah zuhudiyyah, sedangkan masa sekarang ini disebut "nasyid Islamy'. Pertama kali nasyid hanya dibawakan bagi kalangan terbatas pada acara-acara tertentu, lalu berkembang disertai tabuhan papan dan gendang dan dinyanyikan oleh kaum lelaki yang selanjutnya sekarang bermunculan grup-grup nasyid khusus yang terekam suaranya dalam kaset. Dan tidak hanya dalam acara pernikahan, namun nasyid pun kemudian merambah ke acara keagamaan dengan alasan sebagai sarana dakwah.

Di sisi lain, kita mendapati bahwa semakin banyak pemuda pemudi yag malas menghafalkan Al-Quran dengan alasan tidak ada kesempatan dan sibuk dengan kegiatannya. Juga ada beberapa orang yang mengadu kepada ALLOH karena tidak bisa memelihara diri dengan kesibukannya atas nasyid-nasyid ini, karena memang banyak sekali kerusakan yang ditimbulkan oleh nasyid, antara lain:

1. Menghabiskan waktu.

2. Melakukan penyerupaan dengan musik dari Barat dan Timur, terutama kaum Nasrani.

3. Menyerupai kebiasaan orang-orang sufi suka melagukan dzikir.

4. Melibatkan anak-anak kecil dan gadis yang belum baligh dengan suaranya yang menarik.

5. Mengganti bacaan Al-Quran dan As-Sunnah dengan lagu dan nasyid, sehingga dimana-mana nasyid sudah menggeser bacaan Al-Quran.

6. Sering menggunakan beberapa instrumen musik.

7. Munculnya beberapa grup nasyid sebagai profesi, dan sebagian di antaranya adalah kaum lelaki.

8. Seringkali dalam nasyid terdapat kata-kata dusta, perumpamaan atau penggambaran yang melampaui batas.

Padahal jika kita mau menyimak, ALLOH telah memperingatkan dalam Kalam-Nya yang mulia:

"Dan apakah tidak cukup bagi mereka bahwa Kami telah menurunkan kepadamu Al-Kitab, sedangkan dia dibacakan kepada mereka? Sesungguhnya dalam (Al-Quran) itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang yang beriman" (Q.S. Al-Ankabut: 51)

Dalam tafsirnya, Syaikh Ibnu Sa'dy berkata: "Semua itu sudah cukup bagi orang yang menginginkan kebenaran dan berbuat untuk mencari kebenaran

Namun ALLOH tidak mencukupkan bagi orang yang tidak merasa cukup dengan Al-Quran dan Dia juga tidak memberikan kesembuhan kepada orang yang merasa tidak cukup mengambil obat dari Al-Quran. Siapa yang merasa cukup dengan Al-Quran dan menjadikannya sebagai petunjuk, maka dia mendapatkan rahmat dan kebaikan. Karena itulah, ALLOH berfirman, 'Sesungguhnya dalam (Al-Quran) itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang- orang yang beriman'. Pasalnya, di dalam Al-Quran bisa didapatkan ilmu yang banyak, kebaikan yang melimpah, pensucian bagi hati dan ruh, membersihkan akidah dan menyempurnakan akhlaq, di dalamnya terkandung pintu-pintu Ilahi dan rahasia-rahasia Robbani".

Dalam sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Imam Muslim, Rasulullah shalallahu 'alaihi wa salam bersabda:

"Lebih baik rongga seseorang di antara kalian diisi nanah daripada dia memenuhinya dengan sya'ir".

Ibnu Hajar menyatakan bahwa hadits ini sangat mencela syair dan menghardik orang-orang yang menyibukkan diri dengan syair agar lebih memperhatikan Al-Quran. Padahal dalam sebuah hadits disebutkan bahwa setiap huruf Al-Quran ada sepuluh kebaikan, sehingga sungguh merugi dan celakalah orang-orang yang menghabiskan waktu siang dan malamnya untuk kepentingan nasyid itu. Mereka melupakan hadits:

"Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak melagukan Al-Quran" (HR. Bukhori).

Menurut Al-Qurthuby artinya melagukannya agar dapat melalaikan yang lain. Ini juga merupakan penakwilan Al-Bukhory tentang ayat di atas.

Mengingat ruh dapat menguat karena hikmah dan pelajaran yang didengarnya serta membuatnya dapat hidup, maka ALLOH mensyari'atkan hamba-hamba- Nya untuk mendengarkan hal-hal yang dapat menguatkan hati dan menambah iman, yang terkadang pensyariatan itu hukumnya wajib, seperti mendengarkan Al-Quran, dzikir dan nasehat pada hari Jumat saat khutbah dan mendengarkan bacaan Al-Quran saat shalat jahr.

Sesungguhnya jika hati meyakini keagungan apa yang didengarnya dan memikirkan apa yang dikandung Al-Quran, tentu ia akan gemetar karena takut kepada ALLOH. Abu Sa'id Al-Khazzaz berkata, "Siapa mencintai ALLOH, berarti dia mencintai Kalam-Nya, sehingga dia tidak merasa kenyang membacanya". Dan perkataan Syaikhul Islam ibnu Taimiyah yang memuji sikap Imam Asy-Syafi'i yang meninggalkan at-taghbir: "Ini termasuk kesempurnaan pengetahuan Asy-Syafi'i dan ilmunya tentang agama. Sesungguhnya jika hati terbiasa mendengar qashidah dan bait-bait syair serta menikmatinya, tentu ia akan menghindar dari mendengarkan ayat-ayatAl- Quran.

Dia lebih suka mendengarkan perkataan syetan daripada mendengarkan perkataan ALLOH "

Penulis menukil penjelasan Syaikh Albany dalam bukunya "Pengharaman Alat-alat Musik", bahwa kaum sufi banyak menyanyikan lagu karena dorongan hawa nafsu dan kebodohan terhadap tipu daya setan, karena hal tersebut adalah cara haram untuk mendekat kepada ALLOH. Apapun namanya 'nasyid religius' itu, entah dengan cara mendengarnya atau menyimaknya, lagu tersebut merupakan hal baru yang diada-adakan, yang tidak pernah dikenal pada abad-abad yang diketahui sebagai abad yang diwarnai dengan kebaikan.

 Ibnu Taimiyah berkata, "Secara pasti sudah diketahui dalam Islam bahwa Nabi Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam tidak mensyari'atkan kepada orang-orang yang sholih dari umat ini, ahli ibadah dan zuhud untuk berkumpul mendengarkan bait-bait syair yang dilantunkan dengan tepuk tangan atau tabuhan gendang, sebagaimana beliau melarang seseorang mengikuti apa-apa yang biasa dilakukan ahli hikmah, baik yang berkaitan dengan urusan zhahir atau batin, baik bagi orang awam atau orang khusus".

Dan Syaikh Albany menjelaskan bahwa majelis dzikir orang sufi yang di dalamnya dilantunkan lagu-lagu itu pantas dinamakan majelis dendang lagu dan bukan Majelis

dzikir seperti sangkaan mereka, atau majelis nyanyian dan bukan Majelis

membaca Al-Quran atau sholawat kepada Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam.

Pada halaman selanjutnya, penulis membawakan fatwa dari Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan yang intinya bahwa penamaan nasyid Islami merupakan penamaan baru. Di seluruh kitab orang-orang salaf ataupun pernyataan para ulama, tidak ada nama nasyid Islami. ALLOH mensyariatkan dzikir kepada-Nya, membaca Al-Quran dan mempelajari ilmu yang bermanfaat, adapun nasyid itu berasal dari agama orang sufi yang memang biasa membuat bid'ah, menjadikan agama mereka sebagai permainan dan senda gurau.

Selanjutnya dibawakan pula fatwa dari Syaikh Muhammad bin Shalih bin Al-Utsaimin bahwa jika nasyid itu dilantunkan apa adanya tanpa dendangan dan tanpa diiringi tabuhan alat musik, maka tidak ada salahnya jika mendengarnya. Tapi dengan syarat, seseorang tidak boleh menjadikannya sebagai kebiasaan dan hatinya tidak boleh bergantung kepadanya, sehingga tidak bisa mengambil manfaat kecuali dengan sambil mendengar nasyid, karena memang nasyid ini adalah buatan orang sufi, sehingga harus ditinggalkan dan kembali kepada AlQuran dan As-Sunnah, kecuali jika berada di medan jihad untuk membakar semangat, maka hal ini bagus.

Syaikh Ahmad bin Yahya bin Muhammad An-Najmy memberi fatwa bahwa tidak diragukan lagi nyanyian pada zaman sekarang ini -yang katanya untuk membangkitkan hati- adalah sebenarnya tidak membangkitkan kecuali keinginan terhadap dunia dan menghindari akhirat, merusak akhlak dan ilmu. Kemudian masih ada dua fatwa lagi mengenai bid'ahnya nasyid Islami ini yang dapat Anda baca di halaman selanjutnya.

Pada bagian akhir, dijelaskan bahwa gerakan hati secara sempurna bagi orang

yang berakal itu bersumber dari mendengarkan Al-Quran, terutama untuk menyembuhkan hati yang sakit, meskipun tidak setiap orang layak mendapat taufik untuk mencari kesembuhan dengan Al-Quran. Dan dinafikan pula oleh Ibnul Qoyyim mengenai penyembuhan hati lewat tangan para pujangga, penyair, penutur cerita atau pada penyanyi nasyid Islami, karena mereka hanya akan menambah sakit.

Dalam bagian penutup, penulis menyajikan fatwa Syaikhul Islam ibnu Taimiyah mengenai mendengarkan yang sesuai dengan syar'i, yaitu dengan mendengarkan Al-Quran, karena inilah perbuatan para nabi, orang-orang yang berilmu, dan orang-orang Mukmin. Islam sudah diturunkan dengan sempurna, sehingga Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam tidak akan mengabaikan kemaslahatan agama dan tidak akan melupakan sesuatu yang dapat mendekatkan orang Mukmin kepada ALLOH. Dan bagi orang yang terkena cobaan nasyid ini, penulis memberikan cara penyembuhannya, sampai kemudian beliau menutup risalah ini dengan memberikan nasehat: "Engkau akan mendapatkan dari Al Quran apapun yang engkau kehendaki, baik ilmu, bashiroh, hidayah, ataupun yang lainnya".

Berikut ana bawakan fatwa –fatwa ulama ahlus sunnah  :

NASYID-NASYID ISLAMI ADALAH TERMASUK KEKHUSUSAN ORANG-ORANG SUFI

Oleh

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

Pertanyaan

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : Apa hukum nasyid-nasyid Islami ?

Jawaban

Yang aku lihat nasyid-nasyid yang disebut nasyid-nasyid agama, dahulunya adalah termasuk kekhususan thariqah-thariqah kaum sufi. Dan kebanyakan para pemuda mukmin mengingkarinya lantaran sikap ghuluw kepada Rasul Shallallahu کalaihi wa sallam dan beristhighatsah kepada beliau, bukan kepada Allah. Kemudian muncul nasyid-nasyid baru dalam masalah itiqad sebagai perkembangan dari nasyid-nasyid jaman dulu tersebut. Di dalamnya ada yang lurus maka tidaklah mengapa, karena jauh dari perihal kesyirikan dan paganisme (sebagaimana) yang terdapat di dalam nasyid-nasyid lama. Namun perlu diperhatikan bahwa bagi setiap muslim wajib menetapi jalan yang telah ditempuh Rasulullah Shallallahu کalaihi wa sallam.

Setiap orang yang meneliti kitabullah dan hadits Rasulullah Shallallahu کalaihi wa sallam dan apa yang telah ditempuh oleh salafush shalih, maka secara mutlak tidak akan mendapati apa yang mereka namakan nasyid agamis, meski nasyid ini telah diluruskan dari (penyimpangan) nasyid-nasyid lama yang mengandung sikap ghuluw dalam memuji Rasul Shallallahu کalaihi wa sallam. Maka cukup bagi kita untuk mengambil dalil dalam mengingkari nasyid-nasyid ini yang mulai merebak di kalangan para pemuda dengan klaim bahwasanya tidak ada penyelisihan terhadap syarâi, cukuplah bagi kita dalam sisi penunjukan dalil atas hal itu dengan dua perkara berikut.

Pertama : Bahwa nasyid-nasyid ini bukan termasuk jalan kaum Salafush Shalih.

Kedua : Dan ia pada kenyataannya berdasarkan apa yang aku rasakan dan saksikan, ternyata bahaya juga. Hal itu karena kita mulai melihat para pemuda muslim terlena dengan nasyid-nasyid agamis ini dan bernyanyi dengannya sebagaimana dikatakan pada masa lalu hajiirah adat kebiasaannya seterusnya dan selamanya. Lalu hal itu memalingkan mereka dari perhatiannya untuk membaca Al-Quran dan berdzikir kepada Allah, serta bershalawat kepada Nabi Shallallahu کalaihi wa sallam sesuai dengan hadits-hadits shahih yang menjelaskannya. Oleh karena itulah barangkali dari sebab ini dan penyimpangan yang lain Nabi Shallallahu کalaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Baguskanlah suaramu dengan Al-Qur’an, dan jagalah ia (tetaplah membacanya). Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tanganNya, sungguh Al-Qur’an itu lebih mudah hilang (lupa/lepas dengan cepat) dari dalam dada manusia ketimbang onta (yang diikat) dari tambatannyaâ€‌ [1]

[Diringkas dari kitab Al-Bayaan Al-Mufiid An Hukmit Tamtsiil Wal Anaasyiid, Abdullah Al-Sulaimani, Pengantar Syaikh Shalih Al-Fauzan]

NASYID ISLAMI ADALAH NASYID BIDAH

Oleh

Syaikh Muhamamd bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan

Syaikh Muhamamd bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bolehkah kaum laki-laki melantunkan nasyid-nasyid bersama-sama ? Apakah boleh nasyid diiringi dengna pukulan rebana ? Dan apakah nasyid diperbolehkan pada selain hari raya dan pesta kegembiraan ?

Jawaban

Nasyid Islami adalah nasyid bid’ah, serupa dengan apa yang dibuat-buat oleh orang-orang sufi. Oleh karena itu selayaknya (kita) berpaling dari nasyid itu dan menggantinya dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kecuali dalam saat-saat peperangan agar memberikan motivasi keberanian dan berjihad di jalan Allah Azza wa Jalla maka hal ini adalah baik. Dan jika berkumpul dengan (tabuhan) rebana, maka hal itu lebih jauh lagi dari kebenaran.

[Fatawa Syaikh Muhammad Al-Utsaimin, dihimpun oleh Asyraf Abdul Maqshud, hal. 134]
Oleh

Syaikh Shalih Alu Syaikh

Pertanyaan.

Syaikh Shalih Alu Syaikh ditanya : Pada masa kini banyak terdapat sarana-sarana dakwah ke jalan Allah. Sebagiannya membuat aku bingung seperti patung dan nasyid. Apakah yang semacam ini diperbolehkan ataukah tidak ?

Jawaban

Nasyid-nasyid yang saya ketahui dari pembicaraan ulama kita yang kalam mereka dijadikan fatwa, bahwa mereka tidak membolehkannya, karena nasyid datang lewat jalan ikhwanul muslimin, sedang ikhwanul muslimin menjadikan bagian tarbiyah mereka adalah nasyid.
Nasyid pada waktu dahulu biasa dikerjakan oleh thriqah-thariqah sufiyah seperti satu macam dari kesan/pengaruh bagi orang yang menginginkannya.

Nasyid-nasyid di negeri ini (Arab Saudi), dan didendangkan dalam berbagai kegiatan. Ahlul Ilmi berfatwa terhadap apa yang nampak dari kenyataan ini, bahwa ia tidak boleh.

Imam Ahmad mengatakan tentang taghbir yang dibuat-buat oleh kaum sufi yang serupa dengan nasyid yanga da pada zaman sekarang, “Itu adalah perkara baru dan bid’ah; yang dikehendaki darinya ialah memalingkan orang-orang dari Al-Qur’anâ€‌. Dahulu mereka menamakannya nyanyian yang terpuji (puji-pujian) padahal sebenarnya ia bukanlah nyanyian terpuji tapi tercela..!

[Diambil secara ringkas dari fatwa yang panjang dalam kaset yang berjudul : Fatwa Ulama tentang apa yang dinamakan nasyid islami, terbitan rekaman Minhajus Sunnah Riyadh]

[Disalin dari Majalah Al-Furqon Edisi 6 Tahun IV, hal.35-36. Penerbit Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik, Jatim]
_________

Foote Note.

[1]. Diriwayatkan oleh Bukhari 5032, Muslim 1314, 1315 dan selainnya, dengan lafadz : Dari sejelek-jelek ucapan seseorang adalah “ Saya lupa ayat ini dan ituâ€‌ tetapi (yang benar ialah) ia telah dilupakan. Ingat-ingatlah Al-Qur’an, karena ia lebih mudah pergi (hilang) dan menjauh dari dalam dada manusia, daripada hewan ternak (yang diikat pada tiangnya).

Dan dalam riwayat lain.

“Tetaplah kamu membaca Al-Qur’an ini, demi Dzat yang jiwa Muhammad berada ditanganNya, sungguh Al-Qur’an itu lebih mudah hilang (dari ingatan seseorang) dari pada onta yang terikat ditambatannyaâ€‌ [Muslim No. 1317, Ahmad No. 16679, 16721, dan selainnya].

Berikut ana kutipkan Fatwa dari Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah,

HUKUM NYANYIAN ATAU LAGU

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Baz

Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Apa hukum menyanyi, apakah haram atau diperbolehkan, walaupun saya mendengarnya hanya sebatas hiburan saja ? Apa hukum memainkan alat musik rebab dan lagu-lagu klasik ? Apakah menabuh genderang saat perkawinan diharamkan, sedangkan saya pernah mendengar bahwa hal itu dibolehkan ? Semoga Allah memberimu pahala dan mengampuni segala dosamu.

Jawaban.
Sesungguhnya mendengarkan nyanyian atau lagu hukumnya haram dan merupakan perbuatan mungkar yang dapat menimbulkan penyakit, kekerasan hati dan dapat membuat kita lalai dari mengingat Allah serta lalai melaksanakan shalat. Kebanyakan ulama menafsirkan kata lahwal hadits (ucapan yang tidak berguna) dalam firman Allah dengan nyanyian atau lagu.

“Artinya : Dan diantara manusia (ada) orang yang mempergunakan ucapan yang tidak bergunaâ€‌ [Luqman : 6]

Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu â€کanhu bersumpah bahwa yang dimaksud dengan kata lahwul hadits adalah nyanyian atau lagu. Jika lagu tersebut diiringi oleh musik rebab, kecapi, biola, serta gendang, maka kadar keharamannya semakin bertambah. Sebagian ulama bersepakat bahwa nyanyian yang diiringi oleh alat musik hukumnya adalah haram, maka wajib untuk dijauhi. Dalam sebuah hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu â€کalaihi wa sallam beliau berpendapat.

“Artinya : Sesungguhnya akan ada segolongan orang dari kaumku yang menghalalkan zina, kain sutera, khamr, dan alat musikâ€‌ [1]

Yang dimaksud dengan al-hira pada hadits di atas adalah perbuatan zina, sedangkan yang dimaksud al-ma’azif adalah segala macam jenis alat musik. Saya menasihati anda semua untuk mendengarkan lantunan al-Qur’an yang di dalamnya terdapat seruan untuk berjalan di jalan yang lurus karena hal itu sangat bermanfaat. Berapa banyak orang yang telah dibuat lalai karena mendengar nyanyian dan alat musik.

Adapun pernikahan, maka disyariatkan di dalamnya untuk membunyikan alat musik rebana disertai nyanyian yang biasa dinyanyikan untuk mengumumkan suatu pernikahan, yang didalamnya tidak ada seruan maupun pujian untuk sesuatu yang diharamkan, yang dikumandangkan pada malam hari khusus bagi kaum wanita guna mengumumkan pernikahan mereka agar dapat dibedakan dengan perbuatan zina, sebagaimana yang dibenarkan dalam hadits shahih dari Nabi Shallallahu â€کalaihi wa sallam

Sedangkan genderang dilarang membunyikannya dalam sebuah pernikahan, cukup hanya dengan memukul rebana saja. Juga dalam mengumumkan pernikahan maupun melantunkan lagu yang biasa dinyanyikan untuk mengumumkan pernikahan tidak boleh menggunakan pengeras suara, karena hal itu dapat menimbulkan fitnah yang besar, akibat-akibat yang buruk, serta dapat merugikan kaum muslimin. Selain itu, acara nyanyian tersebut tidak boleh berlama-lama, cukup sekedar dapat menyampaikan pengumuman nikah saja, karena dengan berlama-lama dalam nyanyian tersebut dapat melewatkan waktu fajar dan mengurangi waktu tidur. Menggunakan waktu secara berlebihan untuk nyanyian (dalam pengumuman nikah tersebut) merupakan sesuatu yang dilarang dan merupakan perbuatan orang-orang munafik.

[Bin Baz, Mjalah Ad-Dakwah, edisi 902, Syawal 1403H]


[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-3, Darul Haq]
_________
Foote Note
[1] Al-Bukhari tentang minuman dalam bab ma ja’a fi man yastahillu al-khamr wa yusmmihi bi ghairai ismih

Hukum Televisi
Tanya:
Apa hukum televisi?

Jawab:
Tidak diragukan, bahwa keberadaan televisi dewasa ini hukumnya haram. Meskipun sebenarnya televisi, demikian juga radio, alat perekam, atau alat semacamnya merupakan bagian-bagian dari nikmat Allah Suhanahu wa Ta'ala yang diberikan kepada hamba-Nya. Sebagaimana firman Allah dalam surat Ibrohim ayat 34: "Dan jika kamu menghitung nikmat Allah , tidaklah kamu dapat menghitungnya. "

Sebagaimana kita ketahui, pendengaran, penglihatan ataupun lidah adalah karunia Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagai nikmat untuk hamba-hamba- Nya. Akan tetapi, kebanyakan nikmat ini menjadi adzab atas orang yang memilikinya. Sebab mereka tidak menggunakannya dijalan yang dicintai Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sementara itu, televisi, radio, alat perekam dan sejenisnya dikatakan sebagai nikmat, kapan hal itu terjadi ? Jawabnya, pada saat mempunyai nilai manfaat untuk umat.

Televisi dewasa ini, 99% banyak menayangkan nilai-nilai atau faham-faham kefasikan, perbuatan dosa, nyayian haram, ataupun perbutaan yang mengumbar hawa nafsu, dan lain-lain sejenisnya. Hanya 1 % tayangan televisi yang dapat diambil manfaatnya. Jadi kesimpulan hukum televisi itu dilihat dari penayangan yang dominan.

Jika telah terdapat Daulah Islamiyah, dan dapat menerapkan kurikulum ilmiah yang berfaedah bagi umat, maka berkaitan dengan televisi untuk saat itu; saya tidak hanya mengatakan boleh (jaiz) tetapi wajib hukumnya.

(Dinukil dari al Ashalah 10/15 Syawal 1414 H hal. 40, Edisi Indonesia "25 fatwa", Fadhilatus Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah terbitan Semarang, 1995)

APAKAH HUKUMNYA TELEVISI HARAM ATAU MAKRUH ATAU BOLEH
Oleh
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin

Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Segala puji hanya bagi Allah, rahmat dan kesejahteraan semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarga dan sahabatnya. Wa ba’du : Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiyah Wal Ifta telah meneliti pertanyaan yang diajukan dari Hifzhi bin Ali Zaini kepada pimpinan umum dan dipindahkan kepadanya dari sekretaris umum no. 1006 dan tanggal 19/12/1398H

Dan isinya adalah : Istri saya meminta dibelikan televisi dan saya tidak menyukainya. Saya berharap kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, kemudian kepada kalian penjelasan tentang televisi. Apakah hukumnya haram atau makruh atau boleh. Di mana saya tidak menyukai membeli keperluan yang haram ?

Jawaban
Pesawat televisi itu sendiri tidak bisa dikatakan haram, dan tidak pula makruh dan tidak pula boleh. Karena ia adalah benda yang tidak berbuat apapun. Sesungguhnya hukumnya sangat tergantung dengan perbuatan hamba, bukan dengan dzat sesuatu. Maka membuat televisi dan menjadikannya (sebagai alat) untuk menyebarkan hadits atau program sosial yang baik, hukumnya boleh. Jika yang ditampilkan adalah gambar-gambar yang menggiurkan lagi membangkitkan syahwat, seperti gambar-gambar wanita telanjang, gambar laki-laki yang menyerupai perempuan dan yang sama pengertian dengan hal tersebut. Atau yang didengar adalah yang diharamkan, seperti lagu-lagu cabul, kata-kata yang tidak bermoral, suara para artis kendati dengan lagu-lagu yang tidak cabul. Nanyian laki-laki yang melembutkan suara dalam nyanyian mereka, atau menyerupai wanita padanya, maka ia diharamkan.

Dan inilah kebiasaan dalam penggunaan televisi di masa sekarang, karena kuatnya kecenderungan manusia kepada hiburan dan kekuasaan hawa nafsu atas jiwa kecuali orang yang dipelihara oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sangat sedikit sekali.

Sebagai kesimpulan : Duduk di depan tetevisi atau mendengarkannya atau melihat acaranya, selalu mengikuti dalam penentuan hukum halal dan haram dari apa yang dilihat atau yang didengar. Terkadang sesuatu yang diperbolehkan untuk didengar dan untuk duduk di depannya menjadi dilarang karena faktor menyia-nyiakan waktu senggang dan berlebihan padanya, yang kadang kala manusia sangat membutuhkan kesibukan yang bermanfaat untuk dirinya, keluarganya dan umatnya dengan manfaat yang merata dan kebaikan yang banyak. Wajib bagi setiap muslim menurut agama, untuk tidak membelinya, mendengarkannya dan melihat yang ditayangkan di dalamnya ; karena merupakan sarana kepada mendengarkan dan melihat yang diharamkan.

Semoga rahmat dan kesejahteraan Allah tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

[Fatwa ini diucapkan dan didiktekan oleh Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Darul Haq]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar