RSS

Jumat, 28 Januari 2011

pesantren modern masa kini!!

IBNU HAJAR BOARDING SCHOOL adalah pesantren modern masa kini,dengan fasilitas yg memuaskan dan biaya yg lumayan mahal.ayo!! sekolahkan anak anda disini!! hanya menerima 90 anak lho!!,Alamat jl.raya munjul Gg.musholah fathul ulum No.11 munjul cipayung.smpihbs.sch.id

Minggu, 23 Januari 2011

Minta Dalil Untuk Mematahkan Argumen Acara 40 Hari Orang Meninggal


Assalamu'alaikum,
Ustadz, saya masih bingung sebenarnya seperti apa perlakuan kita terhadap orang yang sudah meninggal ? Apakah acara - acara 7 hari, 40 hari dst.. ada dalilnya ? Kalau tidak ada bagaimana mematahkan argumen orang yang masih melaksanakan acara - acara tersebut ?
Kebetulan dikampung saya, saya melihat acara - acara tersebut sangat memberatkan keluarga yang ditinggalkan, belum lagi dengan pemahaman orang kampung yang sepertinya hal tersebut seperti sudah kewajiban jadi ada tidak ada harus diadakan.
Wassalamu'alaikum,

Abdullah


Jawaban:
Assalamu `alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh
Alhamdulillah, Washshalatu wassalamu `ala Rasulillah, wa ba
’d.
Kami yakin bahwa pasti Anda sudah betul bahwa semua bentuk acara itu memang tidak ada dasar masyru`iyahnya dari Rasulullah SAW. Sebagai sebuah paket acara ritual yang baku, tidak ada perintah atau dasar contoh dimana Rasulullah SAW melakukannya. Tidak juga para shahabat, tabi`in ataupun atba`ut tabi`in. Bahkan generasi para fuqaha dan orang-orang shaleh berikutnya pun tidak pernah merekomendasikan untuk melakukan perayaaan demikian.
Biasanya, para pendukung kegiatan ini sering kali beragumen bahwa di balik kegiatan ini ada hal-hal yang baik dan perlu untuk diambil manfaatnya. Dan kalau kita sejenak meminjam logika mereka dan mempreteli satu persatu, ada juga ada satu dua esensi acara itu yang masih bisa dikatakan sebagai perbuatan yang baik.
  • Misalnya dalam acara 40 hari itu ada unsur silaturrahimnya. Dan silaturrahim tentu bagian dari perintah dari ajaran Islam.
  • Juga di dalam acara itu ada unsur memberi sedekah berupa memberikan hidangan makan atau berkat kepada para undangan. Memberi makan kepada orang adalah bagian dari ajaran Islam.
  • Biasanya dalam acara itu juga ada pidato / ceramah agama yang berguna. Dan belajar agama adalah bagian penting dari perintah agama Islam.
Kita tidak menafikan adanya manfaat di balik acara demikian, yang menjadi masalah adalah ketika acara demikian sudah dianggap sebagai ritual khusus yang bila tidak dilakukan dalam format bakunya, seolah-olah menjadi hal yang kurang dari agama ini. Kesalahan inilah yang seharusnya dipahami dengan arif, cermat dan bijaksana oleh para pendukungnya.
Namun karena mereka sudah menerima acara demikian sejak kecil dan dilakukan oleh nenek moyang mereka turun temurun, seolah-olah hal itu sudah menjadi bagian dari pola hidup mereka. Kalau anda menghadapi mereka dengan cara memotong argumentasi, kami yakin usaha anda tidak akan berjalan terlalu mudah. Sebab kecenderungan yang terjadi bahwa umumnya orang-orang melakukannya bukan karena nalar logika apalagi ilmu syariah, melainkan sebagai sebuah tradisi yang terbentuk ratusan tahun lamanya. Bukan perkara mudah untuk merubah sebuah life style sebuah komunitas masyarakat begitu saja.
Perubahannya mungkin akan lebih efektif dengan melalui sebuah proses. Kita mungkin bisa ikut mempercepat proses itu dengan cara antara lain :
  • Memperluas dan memperdalam pemahaman ilmu syariah kepada generasi muda dan khususnya tentang masalah konsep ibadah ritual dengan bid’ah-bid’ahnya. Generasi muda umumnya belum terlalu kental dengan tradisi dan masih terbuka wawasannya terhadap masukan yang lebih kuat dalilnya.
  • Tidak terlalu mengekspose perbedaan pendapat dalam masalah ini. Sebab biasanya semakin diekspose, pihak-pihak yang cendrung mempertahankannya akan semakin bersemangat untuk membela pendapatnya. Seekor kucing yang terpojok bisa nekat mencakar lawannya. Biarkanlah perubahan zaman yang dengan sistematik akan merubahnya. Ini berlaku bila kita menghadapi mereka yang amat kuat mempertahankan pendapatnya.
  • Argumentasi yang kuat bisa anda lakukan kepada mereka yang punya nalar dan wasasan yang luas dan mendalam dalam memahami agama. Tentu saja bukan cara debat apalagi di depan publik, melainkan dengan muzakarah ilmiah dengan didukung oleh dalil-dalil fiqih yang kuat. Syarat utamanya adalah orang itu tidak berisifat fanatik buta terhadap apa yang dipegangnya, tetapi terbuka dalam menerima pendapat orang lain bila punya dasar yang kuat.
Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,

Sumpah Dengan Menyebut Nama Allah

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakaatuh

Bagaimanakah hukum seseorang yang mengucap sumpah dengan menyebut nama Allah. Dosa apakah yang akan diterima jika sumpah tersebut palsu?
Wasalamualaikum warahmatullahi wabarakaatuh

Jawaban:
Assalamu `alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh
Alhamdulillah, Washshalatu wassalamu `ala Rasulillah, wa ba’d.
Mengucapkan sumpah dengan menyebut nama Allah Subhanahu Wata`ala dibenarkan manakala memang isi sumpahnya kita yakini kebenarannya. Apalagi untuk keperluan pengadilan, maka sumpah ini menjadi sangat penting.
Namun bila seseorang sudah terlanjur mengucapkan sumpah dengan nama Allah Subhanahu Wata`ala lalu tidak mampu menjalankan sumpahnya, yang bisa dilakukannya adalah mencabut sumpahnya itu dan membayar kaffarah / denda. Bentuknya telah dijelaskan dalam ayat Al-Quran Al-Kariem berikut ini :
Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud , tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah . Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur.(QS.Al-Maidah : 89)
Jenis-jenis Sumpah
Syariat Islam membagi dua atau tiga jenis sumpah, yaitu ada yang mun'aqid dan ada yang tidak mun'aqid. Ditambah satu lagi yaitu Ghamus menurut Abu Hanifah.
1. Sumpah Laghwi / Yang Tidak Mun'aqid
Sumpah yang tidak mun'aqid adalah jenis sumpah yang tidak terkena kewajiban untuk melaksanakannya oleh sebab terucap tanpa sengaja oleh lisan dan tidak berangkat dari kesadaran yang penuh dari dalam hati. Sumpah jenis ini disebut dengan sumpah laghwi.
Imam Asy-Syafi`i mengatakan bahwa sumpah yang tidak mun'aqid adalah sumpah yang diucapkan secara terburu-buru dan bagian dari kebiasaan dalam percakapan. Seperti orang terbiasa berkata,”Demi Allah”. Padahal dia sama sekali tidak bermaksud untuk bersumpah. Belau mengutip riwayat Aisyah ra yang berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Sumpah yang tidak mun'aqid itu adalah ucapan seseorang di rumahnya [ya demi Allah, Tidak demi Allah].
Sedangkan jumhur ulama mengatakan bahwa sumpah yang tidak mun'aqid adalah sumpah tentang sesuatu yang lampau atau tentang masa sekarang ini dengan menyangka bahwa sesuatu itu terjadi, namun pada kenyataannya tidak terjadi. Dalilnya adalah riwayat Ibnu Abbas dalam laghwil yamin,”Bersumpah bahwa sesuatu itu demikian padahal kenyataannya tidak demikian”. Hal sama diriwayatkan juga oleh Mujahid.
2. Sumpah Yang Mun'aqid
Sebaliknya, sumpah yang mun'aqid adalah jenis sumpah yang disengaja dengan diucapkan dengan sepenuh kesadaran. Atau sebagaimana pendapat jumhur, yaitu sumpah untuk melakukan sesuatu di masa yang akan datang namun tidak dikerjakan.
3. Sumpah ghamus
Selain itu ada jenis yang ketiga menurut Al-Hanafiyah, yaitu dusta atau sumpah yang diucapkan dengan berbohong dengan sengaja untuk suatu hal / kejadian yang terjadi di masa lalu atau masa sekarang.
At-Thabari meriwayatkan dari Malik bahwa sumpah itu ada 3 macam :
1. Sumpah yang mewajibkan kaffarah.
2. Sumpah yang tidak mewajibkan kaffarah.
3. Sumpah yang tidak berdosa.
Sumpah jenis pertama, seseorang bersumpah untuk tidak mengerjakan sesuatu namun dikerjakan juga. Maka wajiblah baginya untuk membayar kaffarah.
Sumpah jenis kedua, seseorang bersumpah di atas dasar bohong, maka dia tidak perlu membayar kaffarah.
Sumpah jenis ketiga, seseorang bersumpah atas sesuatu dengan menyangka bahwa hal itu memang terjadi. Ternyata kenyataannya tidak seperti dugaannya. Unutk itu dia tidak wajib membayar kaffarah karena sumpah ini adalah sumpah laghwi.

Jumat, 21 Januari 2011

Perayaan Nifsu Sya'ban dalam sorotan Ulama

Perayaan Nifsu Sya'ban dalam sorotan Ulama http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=742
1 of 8 23/08/2006 10:40
Perayaan Nifsu Sya'ban dalam sorotan Ulama
Penulis: Syaikh Abdullah Bin Abdul Aziz Bin Baz
Fatwa-Fatwa, 19 September 2004, 13:01:55
Segala puji hanyalah bagi Allah, yang telah menyempurnakan agamaNya bagi kita,
dan mencukupkan nikmat-Nya kepada kita, semoga shalawat dan salam selalu
terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam,
pengajak ke pintu taubat dan pembawa rahmat.
Amma ba’du :
Sesungguhnya Allah subhaanahu wa ta’ala berfirman :
]    






     [.
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan
kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridloi Islam sebagai agama bagimu” (QS. Al
Maidah, 3).
]
   
  !      "#
$ %& '()      * + ,      ,$ "-.
/  0       /
    12 3 12
[.
“Apakah mereka mempunyai sesembahan sesembahan selain Allah yang
mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diridloi Allah ? Sekiranya tak ada
ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan
sesungguhnya orang orang yang dhalim itu akan memperoleh azab yang pedih” (QS.
As syuro, 21).
Dari Aisyah, Radliyallahu ‘anhu berkata : bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda :
" 4 , / 5 /     6 1/ 4 708   / ".
“Barang siapa yang mengada-adakan sesuatu perbuatan (dalam agama) yang
sebelumnya tidak pernah ada, maka tidak akan diterima”.
Dan dalam riwayat imam Muslim, Rasulullah bersabda :
" 4 1/ , 5 '   / ".
“Barang siapa mengerjakan suatu perbuatan yang belum pernah kami perintahkan,
maka ia tertolak”.
Dalam shahih Muslim dari Jabir radhiyallahu ‘anhu ia berkata : bahwa Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam salah satu khutbah Jum’at nya :
" * 0$ ' 9 :0;/ /<     12 9
, ,      = > 0 ;/ ?06 ?0      1 @ 9,       A 0;      1 @ "B4 ,0 $ /
* ".
“Amma ba’du : sesungguhnya sebaik baik perkataan adalah Kitab Allah (Al Qur’an),
dan sebaik baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam,
dan sejelek jelek perbuatan (dalam agama) adalah yang diada adakan, dan setiap
bid’ah (yang diada-adakan) itu sesat” (HR. Muslim).
Masih banyak lagi hadits hadits yang senada dengan hadits ini, hal mana semuanya
menunjukkan dengan jelas, bahwasanya Allah telah menyempurnakan untuk umat ini
Perayaan Nifsu Sya'ban dalam sorotan Ulama http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=742
2 of 8 23/08/2006 10:40
agamanya, Dia telah mencukupkan nikmatNya bagi mereka, Dia tidak akan
mewafatkan Nabi Muhammad kecuali sesudah beliau menyelesaikan tugas
penyampaian risalahnya kepada umatnya, dan menjelaskan kepada mereka seluruh
syariat Allah, baik melalui ucapan maupun perbuatan.
Beliau menjelaskan bahwa segala sesuatu yang akan diada adakan oleh sekelompok
manusia sepeninggalnya dan dinisbatkan kepada ajaran Islam baik berupa ucapan
maupun perbuatan, semuanya itu bad’ah yang ditolak, meskipun niatnya baik.
Para Sahabat dan para Ulama mengetahui hal ini, maka mereka mengingkari
perbuatan perbuatan bid’ah dan memperingatkan kita dari padanya, hal itu
disebutkan oleh mereka yang mengarang tentang penerapan Sunnah dan
pengingkaran bid’ah, seperti Ibnu Waddhoh At Thorthusyi dan As Syaamah dan lain
lain.
Diantara bid’ah yang biasa dilakukan oleh banyak orang ialah bid’ah mengadakan
upacara peringatan malam Nisfu Sya’ban (tanggal 15 sya'ban, red), dan
menghususkan pada hari tersebut dengan puasa tertentu, padahal tidak ada satupun
dalil yang dapat dijadikan sandaran, ada hadits-hadits yang menerangkan tentang
fadlilah malam tersebut, tetapi hadits-hadits tersebut dhoif, sehingga tidak dapat
dijadikan landasan, adapun hadits-hadits yang berkenaan dengan sholat pada hari itu
adalah maudlu /palsu.
Dalam hal ini, banyak diantara para ulama yang menyebutkan tentang lemahnya
hadits-hadits yang berkenaan dengan penghususan puasa dan fadlilah sholat pada
hari Nisfu Sya’ban, selanjutnya akan kami sebutkan sebagian dari ucapan mereka.
Pendapat para ahli Syam diantaranya Al Hafidz Ibnu Rajab dalam bukunya “Lathoiful
Ma’arif” mengatakan bahwa perayaan malam nisfu sya’ban adalah bid’ah, dan
hadits-hadits yang menerangkan keutamaannya semuanya lemah, hadits yang lemah
bisa diamalkan dalam ibadah jika asalnya didukung oleh hadits yang shoheh,
sedangkan upacara perayaan malam Nisfu Sya’ban tidak ada dasar yang shohih,
sehingga tidak bisa didukung dengan dalil hadits-hadits yang dlo’if.
Ibnu Taimiyah telah menyebutkan kaidah ini, dan kami akan menukil pendapat para
ulama kepada para pembaca, sehingga masalahnya menjadi jelas. Para ulama telah
bersepakat bahwa merupakan suatu keharusan untuk mengembalikan segala apa
yang diperselisihkan manusia kepada Kitab Allah (Al-Qur’an) dan sunnah Rasul (Al
Hadits), apa saja yang telah digariskan hukumnya oleh keduanya atau salah satu dari
padanya, maka wajib diikuti, dan apa saja yang bertentangan dengan keduanya maka
harus ditinggalkan, serta segala sesuatu amalan ibadah yang belum pernah
disebutkan (dalam Al Qur’an dan As Sunnah) adalah bid’ah, tidak boleh dikerjakan,
apalagi mengajak untuk mengerjakannya dan menganggapnya baik.
Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat An Nisa’ :
]
"# C 1     ,      = # D 14 3 2 4
E "B4
/ 1/<      C 1          F ,          F     /G       
.   H8 1 @ I - 1@J          , $ " /K [
“Hai orang orang yang beriman, taatilah Allah, dan taatilah Rasul(Nya), dan Ulil Amri
(pemimpin) diantara kamu, kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesutu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (Al Hadits), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih
Perayaan Nifsu Sya'ban dalam sorotan Ulama http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=742
3 of 8 23/08/2006 10:40
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. An nisa’, 59).
] L , #
, $ ,    
- ,      = # , ;4 3 2  / , 4
) @      / [
“Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah
(yang mempunyai sifat sifat demikian), itulah Tuhanku, KepadaNya-lah aku
bertawakkal dan kepadaNya-lah aku kembali” (QS. Asy syuro, 10).
]
M $ -
M 1)N ,    
M OO; M O 4 ,      " OM;
M "# 'P [.
“Katakanlah, jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya
Allah akan mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu ” (QS. Ali Imran, 31).
] H
H
%P / Q18
H) 4     0R +
:
$ 1R2 4 S ; = 8 " /K + I$ 4 [.
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan,
kemudian mereka tidak merasa sesuatu keberatan dalam hati mereka terhadap
putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya ” (QS. An
Nisa’, 65).
Dan masih banyak lagi ayat ayat Al Qur’an yang semakna dengan ayat ayat diatas, ia
merupakan nash atau ketentuan hukum yang mewajibkan agar supaya masalah
masalah yang diperselisihkan itu dikembalikan kepada Al Qur’an dan Al Hadits, selain
mewajibkan kita agar rela terhadap hukum yang ditetapkan oleh keduanya.
Sesungguhnya hal itu adalah konsekwensi iman, dan merupakan perbuatan baik bagi
para hamba, baik di dunia atau di akherat nanti, dan akan mendapat balasan yang
lebih baik.
Dalam pembicaraan masalah malam Nisfu Sya’ban, Ibnu Rajab berkata dalam
bukunya “Lathoiful Ma’arif” : para Tabi'in penduduk Syam (Syiria sekarang) seperti
Kholid bin Ma’daan, Makhul, Luqman bin Amir, dan lainnya pernah
mengagung-agungkan dan berijtihad melakukan ibadah pada malam Nisfi Sya’ban,
kemudian orang-orang berikutnya mengambil keutamaan dan bentuk pengagungan
itu dari mereka.
Dikatakan bahwa mereka melakukan perbuatan demikian itu karena adanya
cerita-cerita israiliyat, ketika masalah itu tersebar ke penjuru dunia, berselisihlah kaum
muslimin, ada yang menerima dan menyetujuinya, ada juga yang mengingkarinya,
golongan yang menerima adalah ahli Bashrah dan lainnya, sedangkan golongan yang
mengingkarinya adalah mayoritas penduduk Hijaz (Saudi Arabia sekarang), seperti
Atho dan Ibnu Abi Mulaikah, dan dinukil oleh Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari
Ulama fiqih Madinah, yaitu ucapan para pengikut Imam Malik dan lain lainnya ;
mereka mengatakan bahwa semua perbuatan itu bid’ah, adapun pendapat ulama
Syam berbeda dalam pelaksanaannya dengan adanya dua pendapat :
1- Menghidup-hidupkan malam Nisfu Sya’ban dalam masjid dengan berjamaah
adalah mustahab (disukai Allah).
Dahulu Khalid bin Ma’daan dan Luqman bin Amir memperingati malam tersebut
dengan memakai pakaian paling baru dan mewah, membakar kemenyan, memakai
sipat (celak), dan mereka bangun malam menjalankan shalatul lail di masjid, ini
disetujui oleh Ishaq bin Rahawaih, ia berkata : "Menjalankan ibadah di masjid pada
malam itu secara berjamaah tidak dibid’ahkan", keterangan ini dicuplik oleh Harbu Al
Karmaniy.
2- Berkumpulnya manusia pada malam Nisfi Sya’ban di masjid untuk shalat, bercerita
Perayaan Nifsu Sya'ban dalam sorotan Ulama http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=742
4 of 8 23/08/2006 10:40
dan berdoa adalah makruh hukumnya, tetapi boleh dilakukan jika menjalankan sholat
khusus untuk dirinya sendiri.
Ini pendapat Auza’iy, Imam ahli Syam, sebagai ahli fiqh dan ulama mereka, Insya
Allah pendapat inilah yang mendekati kebenaran, sedangkan pendapat Imam Ahmad
tentang malam Nisfu Sya’ban ini, tidak diketahui.
Ada dua riwayat yang menjadi sebab cenderung diperingatinya malam Nisfu Sya’ban,
dari antara dua riwayat yang menerangkan tentang dua malam hari raya (Iedul Fitri
dan Iedul Adha), dalam satu riwayat berpendapat bahwa memperingati dua malam
hari raya dengan berjamaah adalah tidak disunnahkan, karena hal itu belum pernah
dikerjakan oleh Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya,
riwayat yang lain berpendapat bahwa memperingati malam tersebut dengan
berjamaah disunnahkan, karena Abdurrahman bin Yazid bin Aswad pernah
mengerjakannya, dan ia termasuk Tabi’in. Begitu pula tentang malam nisfu sya’ban,
Nabi belum pernah mengerjakannya atau menetapkannya, termasuk juga para
sahabat, itu hanya ketetapan dari golongan Tabiin ahli fiqh (yuris prudensi) yang di
Syam (syiria), demikian maksud dari Al Hafidz Ibnu Rajab (semoga Allah
melimpahkan rahmat kepadanya).
Ia mengomentari bahwa tidak ada suatu ketetapan pun tentang malam Nisfi Sya’ban
ini, baik itu dari Nabi maupun dari para Sahabat. Adapun pendapat Imam Auza’iy
tentang bolehnya (istihbab) menjalankan sholat pada malam hari itu secara individu
dan penukilan Al Hafidz Ibnu Rajab dalam pendapatnya itu adalah gharib dan dloif,
karena segala perbuatan syariah yang belum pernah ditetapkan oleh dalil dalil syar’i
tidak boleh bagi seorang pun dari kaum muslimin mengada-adakan dalam Islam, baik
itu dikerjakan secara individu ataupun kolektif, baik itu dikerjakan secara sembunyi
sembunyi ataupun terang terangan, landasannya adalah keumuman hadits Nabi :
" 4 1/ , 5 '   / ".
“Barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang belum pernah kami perintahkan,
maka ia tertolak”.
Dan banyak lagi hadits hadits yang mengingkari perbuatan bid’ah dan
memperingatkan agar dijauhi.
Imam Abu Bakar At Thorthusyi berkata dalam bukunya “Al Hawadits wal bida” :
diriwayatkan oleh Wadhoh dari zaid bin Aslam berkata : kami belum pernah melihat
seorang pun dari sesepuh dan ahli fiqh kami yang menghadiri perayaan malam nisfu
sya’ban, tidak mengindahkan hadits Makhul yang dloif, dan tidak pula memandang
adanya keutamaan pada malam tersebut terhadap malam malam lainya.
Dikatakan kepada Ibnu Abi Mulaikah bahwasanya Zaid An numairy berkata : "Pahala
yang didapat (dari ibadah) pada malam Nisfu Sya’ban menyamai pahala lailatul
qadar, Ibnu Abi Mulaikah menjawab : "Seandainya saya mendengarnya sedang di
tangan saya ada tongkat pasti saya pukul, Zaid adalah seorang penceramah".
Al ‘Allamah Asy Syaukani menulis dalam bukunya “Al Fawaidul Majmuah” sebagai
berikut : bahwa hadits yang mengatakan :
" =%P +# T    1/ 1U ,       6 'P      *; )$ * ' 4 1& " O 2  / V(      * * *W / = >  / 9
X # ... *Q 8 ' , ,     .
Perayaan Nifsu Sya'ban dalam sorotan Ulama http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=742
5 of 8 23/08/2006 10:40
“Wahai Ali, barang siapa yang melakukan sholat pada malam Nisfu Sya’ban
sebanyak 100 rakaat, ia membaca setiap rakaat Al fatihah dan Qul huwallah ahad
sebanyak sepuluh kali, pasti Allah memenuhi segala kebutuhannya … dan
seterusnya.
Hadits ini adalah maudhu’, pada lafadz-lafadznya menerangkan tentang pahala yang
akan diterima oleh pelakunya adalah tidak diragukan kelemahannya bagi orang
berakal, sedangkan sanadnya majhul (tidak dikenal), hadits ini diriwayatkan dari
kedua dan ketiga jalur sanad, kesemuanya maudhu dan perawi-perawinya tidak
diketahui.
Dalam kitab “Al Mukhtashor” Syaukani melanjutkan : hadits yang menerangkan
tentang sholat Nisfu Sya’ban adalah bathil, Ibnu Hibban meriwayatkan hadits dari Ali
bin Abi Tholib Radhiyallahu ‘anhu : jika datang malam Nisfu Sya’ban bersholat
malamlah dan berpuasalah pada siang harinya, adalah dloif.
Dalam buku “Allaali” diriwayatkan bahwa : "Seratus rakaat pada malam Nisfi sya’ban
(dengan membaca surah) Al ikhlas sepuluh kali (pada setiap rakaat) bersama
keutamaan keutamaan yang lain, diriwayatkan oleh Ad Dailami dan lainya bahwa itu
semua maudlu’ (palsu), dan mayoritas perowinya pada ketiga jalur sanadnya majhul
(tidak diketahui) dan dloif (lemah).
Imam As Syaukani berkata : Hadits yang menerangkan bahwa dua belas rakaat
dengan (membaca surat) Al Ikhlas tiga puluh kali itu maudlu’ (palsu), dan hadits
empat belas rakaat … dan seterusnya adalah maudlu’ (tidak bisa diamalkan dan
harus ditinggalkan, pent).
Para fuqoha (ahli yurisprudensi) banyak yang tertipu dengan hadits hadits diatas,
seperti pengarang Ihya Ulumuddin dan lainnya, juga sebagian dari para ahli tafsir,
karena sholat pada malam ini, yakni malam Nisfu Sya’ban telah diriwayatkan melalui
berbagai jalur sanad, semuanya adalah bathil / tidak benar dan haditsnya adalah
maudlu’.
Hal ini tidak bertentangan dengan riwayat Turmudzi dan hadits Aisyah, bahwa
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam pergi ke Baqi’ dan Tuhan turun ke langit dunia
pada malam Nisfu Sya’ban, untuk mengampuni dosa sebanyak jumlah bulu domba
dan bulu kambing, karena pembicaraan kita berkisar tentang sholat yang diadakan
pada malam Nisfu Sya’ban itu, tetapi hadits Aisyah ini lemah dan sanadnya munqothi’
(tidak bersambung) sebagaimana hadits Ali yang telah disebutkan diatas, mengenai
malam Nisfu Sya’ban, jadi dengan jelas bahwa sholat (khusus pada) malam itu juga
lemah dasar hukumnya.
Al Hafidz Al Iraqi berkata : hadits (yang menerangkan) tentang sholat Nisfi Sya’ban itu
maudlu dan pembohongan atas diri Rasulallah”.
Dalam kitab “Al Majmu” Imam Nawawi berkata : sholat yang sering kita kenal dengan
sholat Roghoib ada (berjumlah) dua dua belas rakaat, dikerjakan antara maghrib dan
Isya’, pada malam Jum’at pertama bulan Rajab, dan shalat seratus rakaat pada
malam Nisfu Sya’ban, dua sholat ini adalah bid’ah dan munkar, tidak boleh seseorang
terpedaya oleh kedua hadits itu, hanya karena disebutkan di dalam buku “Quutul
qulub” dan “ Ihya Ulumuddin” (Al Ghozali, red) sebab pada dasarnya hadits hadits
Perayaan Nifsu Sya'ban dalam sorotan Ulama http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=742
6 of 8 23/08/2006 10:40
tersebut bathil (tidak boleh diamalkan), kita tidak boleh cepat mempercayai orang
orang yang tidak jelas bagi mereka hukum kedua hadits itu, yaitu mereka para imam
yang kemudian mengarang lembaran-lembaran untuk membolehkan pengamalan
kedua hadits itu, karena ia telah salah dalam hal ini.
Syekh Imam Abu Muhammad Abdurrahman bin Ismail Al Maqdisi telah mengarang
sebuah buku yang berharga, beliau menolak (menganggap bathil) kedua hadits diatas
(tentang malam Nisfu Sya’ban dan malam Jum’at pertama pada bulan Rajab), ia
bersikap (dalam mengungkapkan pendapatnya) dalam buku tersebut, sebaik
mungkin, dalam hal ini telah banyak pendapat para ulama, jika kita hendak menukil
pendapat mereka itu, akan memperpanjang pembicaraan kita. Semoga apa-apa yang
telah kita sebutkan tadi, cukup memuaskan bagi siapa saja yang berkeinginan untuk
mendapat sesuatu yang haq.
Dari penjelasan di atas tadi, seperti ayat-ayat Al Qur’an dan beberapa hadits, serta
pendapat para ulama, jelaslah bagi pencari kebenaran (haq) bahwa peringatan
malam Nisfu Sya’ban dengan pengkhususan sholat atau lainnya, dan pengkhususan
siang harinya dengan puasa, itu semua adalah bid’ah dan munkar, tidak ada
landasan dalilnya dalam syariat Islam, bahkan hanya merupakan pengada-adaan
saja dalam Islam setelah masa para sahabat Radhiyallahu ‘anhum, marilah kita hayati
ayat Al Qur’an di bawah ini :
]    






O      [.
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan
kepadamu ni’matKu, dan telah Kuridloi Islam sebagai agama bagimu” (QS. Al
Maidah, 3).
Dan banyak lagi ayat-ayat lain yang semakna dengan ayat di atas, selanjutnya
marilah kita hayati sabda Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam :
" 4 , / 5 /     6 1/ 4 708   / ".
“Barang siapa yang mengada-adakan sesuatu perbuatan (dalam agama) yang
sebelumnya tidak pernah ada, maka ia tertolak”.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata : Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda :
" ,/ ( > 4 " " +# 9 <      $  / ( $ /     (Y + 9       $  / &$ * R      *     (Y +

H/ D    ."
08 .
“Janganlah kamu sekalian mengkhususkan malam Jum’at dari pada malam malam
lainnya dengan sholat tertentu, dan janganlah kamu sekalian mengkhususkan siang
harinya dari pada hari-hari lainnya dengan berpuasa tertentu, kecuali jika hari
bertepatan dengan hari yang ia biasa berpuasa (bukan puasa khusus tadi)” (HR.
Muslim).
Seandainya pengkhususan malam itu dengan ibadah tertentu diperbolehkan oleh
Allah, maka bukanlah malam Jum’at itu lebih baik dari pada malam malam lainnya,
karena pada hari itu adalah sebaik-baik hari yang disinari oleh matahari ? hal ini
berdasarkan hadits hadits Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang shohih.
Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang untuk mengkhususkan
sholat pada malam hari itu dari pada malam lainnya, hal itu menunjukkan bahwa
pada malam lainpun lebih tidak boleh dihususkan dengan ibadah tertentu, kecuali jika
Perayaan Nifsu Sya'ban dalam sorotan Ulama http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=742
7 of 8 23/08/2006 10:40
ada dalil shohih yang mengkhususkan/menunjukkan adanya pengkhususan, ketika
malam Lailatul Qadar dan malam malam bulan puasa itu disyariatkan supaya sholat
dan bersungguh-sungguh dengan ibadah tertentu, maka Nabi mengingatkan dan
menganjurkan kepada umatnya agar supaya melaksanakannya, beliau pun juga
mengerjakannya, sebagaimana disebutkan dalam hadits shohih :
" ,O -  / 0& / , 1)Z $ H 8    # 0&      * P  / 9,O -  / 0& / , 1)Z $ H 8    # " %/ P  / ".
“Barang siapa yang berdiri (melakukan sholat) pada bulan Ramadlan dengan penuh
rasa iman dan harapan (pahala), niscaya Allah Subhaanahu wa Ta’ala akan
mengampuni dosanya yang telah lewat, dan barang siapa yang berdiri (melakukan
sholat) pada malam lailatul qadar dengan penuh rasa iman dan harapan (pahala),
niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lewat” (Muttafaqun ‘alaih).
Jika seandainya malam Nisfu Sya’ban, malam Jum’at pertama pada bulan Rajab,
serta malam isra’ dan mi’raj itu diperintahkan untuk dikhususkan, dengan upacara
atau ibadah tertentu, pastilah Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam
menjelaskan kepada umatnya, atau beliau melaksanakannya sendiri, jika memang
hal itu pernah terjadi niscaya telah disampaikan oleh para sahabat kepada kita ;
mereka tidak akan menyembunyikannya, karena mereka adalah sebaik-baik manusia
dan paling banyak memberi nasehat setelah para Nabi.
Dari pendapat para ulama tadi anda dapat menyimpulkan bahwasanya tidak ada
ketentuan apapun dari Rasulullah, ataupun dari para sahabat tentang keutamaan
malam Nisfu Sya’ban dan malam Jum’at pertama pada bulan Rajab.
Dan dari sini kita mengetahui bahwa memperingati perayaan kedua malam tersebut
adalah bid’ah yang diada adakan dalam Islam, begitu pula pengkhususan malam
tersebut dengan ibadah tertentu adalah bid’ah mungkar, sama halnya dengan malam
27 Rajab yang banyak diyakini orang sebagai malam Isra’ dan Mi’raj, begitu juga tidak
boleh dihususkan dengan ibadah ibadah tertentu, selain tidak boleh dirayakan
dengan upacara upacara ritual, berdasarkan dalil dalil yang disebutkan tadi.
Hal ini, jika (malam kejadian Isra’ dan Mi’raj itu) diketahui, padahal yang benar adalah
pendapat para ulama yang menandaskan tidak diketahuinya malam Isra’ dan Mi’raj
secara tepat. Omongan orang bahwa malam Isra’ dan Mi’raj itu pada tanggal 27
Rajab adalah bathil, tidak berdasarkan pada hadits-hadits yang shahih, maka benar
orang yang mengatakan :
[W    0O      T :0;       /<     12 * \0      = T ) H       /<     1 @
“Sebaik-baik perkara adalah yang telah dikerjakan oleh para Salaf, yang telah
mendapatkan petunjuk dan sejelek-jelek perkara (dalam agama) adalah yang diada
adakan berupa bid’ah bid’ah”
Allahlah tempat bermohon untuk melimpahkan taufiq-Nya kepada kita dan kaum
muslimin semua, taufiq untuk berpegang teguh dengan sunnah dan konsisten kepada
ajarannya, serta waspada terhadap hal-hal yang bertentangan dengannya, karena
hanya Allah lah Maha Pemberi dan Maha Mulia.
Semoga sholawat dan salam selalu terlimpahkan kepada hamba-Nya dan RasulNya
Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula kepada keluarga dan para
sahabatnya, Amien.www.salafy.or.id

tahlilan


Dari Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, kepada yang merasa berkepentingan dari kalangan kaum Muslimin, semoga Allah menunjukkan mereka ke jalan yang diridhaiNya serta membimbing saya dan juga mereka ke jalan orang-orang yang takut dan takwa kepadaNya. Amin.

Amma ba'du,

Telah sampai kabar kepada saya, bahwa banyak orang yang menyepelekan pelaksanaan shalat berjamaah, mereka beralasan dengan adanya kemudahan dari sebagian ulama. Maka saya berkewajiban untuk menjelaskan tentang besarnya dan bahayanya perkara ini, dan bahwa tidak selayaknya seorang Muslim menyepelekan perkara yang diagungkan Allah di dalam KitabNya yang agung dan diagungkan oleh RasulNya yang mulia -shollallaahu'alaihi wasallam-.

Allah -subhanahu wata'ala- banyak menyebutkan perkara shalat di dalam KitabNya yang mulia dan mengagungkannya serta memerintahkan untuk memeliharanya dan melaksanakannya dengan berjamaah. Allah pun mengabarkan, bahwa menyepelekannya dan bermalas-malasan dalam melaksanakannya termasuk sifat-sifat kaum munafiqin.

Allah -subhanahu wata'ala- berfirman,
"Peliharalah segala shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdi-rilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'." (Al-Baqarah: 238).

Bagaimana bisa diketahui bahwa seorang hamba memelihara shalat dan mengagungkannya, sementara dalam pelaksanaannya bertolak belakang dengan saudara-saudaranya, bahkan menyepelekannya?

Allah -subhanahu wata'ala- berfirman,‏
"Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku'lah bersama orang-orang yang ruku'." (Al-Baqarah: 43).

Ayat yang mulia ini adalah nash yang menunjukkan wajibnya shalat berjamaah dan ikut serta bersama orang-orang yang melaksa-nakannya. Jika yang dimaksud itu hanya sekedar melaksanakannya (tanpa perintah berjamaah), tentu tidak akan disebutkan di akhir ayat ini kalimat (dan ruku'lah bersama orang-orang yang ruku'), karena perintah untuk melaksanakannya telah disebutkan di awal ayat.

Allah -subhanahu wata'ala- berfirman,‏
"Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, lalu shalatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata." (An-Nisa': 102).

Allah -subhanahu wata'ala- mewajibkan pelaksanaan shalat secara berjamaah dalam suasana perang, lebih-lebih dalam suasana damai. Jika ada se-seorang yang dibolehkan meninggalkan shalat berjamaah, tentu barisan yang siap menghadap serangan musuh itu lebih berhak untuk diperbolehkan meninggalkannya. Namun ternyata tidak demikian, karena melaksanakan shalat secara berjamaah termasuk kewajiban utama, maka tidak boleh seorang pun meninggalkannya.

Disebutkan dalam kitab ash-Shahihain, dari Abu Hurairah -rodliallaahu'anhu-, dari Nabi -shollallaahu'alaihi wasallam-, bahwa beliau bersabda,

لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِالصَّلاَةِ فَتُقَامَ ثُمَّ آمُرَ رَجُلاً يَؤُمُّ النَّاسَ ثُمَّ أَنْطَلِقَ بِرِجَالٍ مَعَهُمْ حُزَمٌ مِنْ حَطَبٍ إِلَى قَوْمٍ لاَ يَشْهَدُوْنَ الصَّلاَةَ فَأَحْرِقَ عَلَيْهِمْ بُيُوْتَهُمْ بِالنَّارِ
"Sungguh aku sangat ingin memerintahkan shalat untuk didirikan, lalu aku perintahkan seorang laki-laki untuk mengimami orang-orang, kemudian aku berangkat bersama beberapa orang laki-laki dengan membawa beberapa ikat kayu bakar kepada orang-orang yang tidak ikut shalat, lalu aku bakar rumah-rumah mereka dengan api tersebut."
(Al-Bukhari, kitab al-Khushumat (2420), Muslim, kitab al-Masajid (651)).

Dalam Shahih Muslim disebutkan, dari Abdullah bin Mas'ud -rodliallaahu'anhu-, ia berkata, "Aku telah menyaksikan kami (para sahabat), tidak ada seorang pun yang meninggalkan shalat (berjamaah) kecuali munafik yang nyata kemunafikannya atau orang sakit. Bahkan yang sakit pun ada yang dipapah dengan diapit oleh dua orang agar bisa ikut shalat (berjamaah)." Ia juga mengatakan, "Sesungguhnya Rasulullah -shollallaahu'alaihi wasallam- telah mengajarkan kepada kita sunanul huda, dan sesungguhnya di antara sunanul huda itu adalah shalat di masjid yang di dalamnya dikumandangkan adzan." (HR. Muslim, kitab al-Masajid (654)).

Lain dari itu ia juga mengatakan, "Barangsiapa yang ingin bertemu Allah kelak sebagai seorang Muslim, maka hendaklah ia memelihara shalat-shalat yang diserukan itu, karena sesungguhnya Allah telah menetapkan untuk Nabi kalian -shollallaahu'alaihi wasallam- sunanul huda, dan sesungguhnya shalat-shalat tersebut termasuk sunanul huda. Jika kalian shalat di rumah kalian seperti shalatnya penyimpang ini di rumahnya, berarti kalian telah meninggalkan sunnah Nabi kalian. Jika kalian meninggalkan sunnah Nabi kalian, niscaya kalian tersesat. Tidaklah seseorang bersuci dan membaguskan bersucinya, kemudian berangkat ke suatu masjid di antara masjid-masjid ini, kecuali Allah akan menuliskan baginya satu kebaikan untuk setiap langkahnya dan dengannya diangkat satu derajat serta dengannya pula dihapuskan darinya satu kesalahan. Sungguh aku telah menyaksikan kami (para sahabat), tidak ada seorang pun yang meninggalkan shalat (berjamaah) kecuali munafik yang nyata kemunafikannya, dan sungguh seseorang pernah dipapah dengan diapit oleh dua orang lalu diberdirikan di dalam shaf (shalat)." (HR. Muslim, kitab al-Masajid (257, 654)).

Masih dalam Shahih Muslim, disebutkan riwayat dari Abu Hurairah -rodliallaahu'anhu-, bahwa seorang laki-laki buta berkata kepada Rasulullah, "Wahai Rasulullah, tidak ada orang yang menuntunku pergi ke masjid. Apakah aku punya keringanan untuk shalat di rumahku?" Nabi -shollallaahu'alaihi wasallam- bertanya,

هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلاَةِ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: فَأَجِبْ
"Apakah engkau mendengar seruan untuk shalat?" ia menjawab, "Ya", beliau berkata lagi, "Kalau begitu, penuhilah." (HR. Muslim, kitab al-Masajid (653)).

Banyak sekali hadits yang menunjukkan wajibnya shalat berjamaah dan wajibnya pelaksanaan shalat di rumah-rumah Allah yang diizinkan Allah untuk diserukan dan disebutkan namaNya.

Maka yang wajib bagi setiap Muslim adalah memperhatikan perkara ini, bersegera melaksanakannya dan menasehati anak-anaknya, keluarganya, tetangga-tetangganya dan saudara-saudaranya sesama Muslim, sebagai pelaksanaan perintah Allah dan RasulNya dan sebagai kewaspadaan terhadap larangan Allah dan RasulNya, serta untuk menghindarkan diri dari menyerupai kaum munafiqin yang mana Allah telah menyebutkan sifat-sifat mereka yang buruk dan kemalasan mereka dalam melaksankan shalat. Allah -subhanahu wata'ala- berfirman,

"Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut nama Allah kecuali sedikit sekali. Mereka dalam keadaan ragu-ragu antara yang demikian (iman dan kafir); tidak masuk kepada golongan ini (orang-orang beriman) dan tidak (pula) kepada golongan itu (orang-orang kafir). Barangsiapa yang disesatkan Allah, maka kamu sekali-kali tidak akan mendapat jalan (untuk memberi petunjuk) baginya." (An-Nisa': 142-143).

Lain dari itu, karena tidak melaksanakannya secara berjamaah termasuk sebab-sebab utama meninggalkannya secara keseluruhan. Sebagaimana diketahui, bahwa meninggalkan shalat adalah suatu kekufuran dan kesesatan serta keluar dari Islam berdasarkan sabda Nabi -shollallaahu'alaihi wasallam-,

إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ
"Sesungguhnya (pembatas) antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat." (HR. Muslim, kitab al-Iman (82)- HR. Muslim dalam kitab Shahihnya, dari Jabir -rodliallaahu'anhu-).

Juga berdasarkan sabda Nabi -shollallaahu'alaihi wasallam-,

اَلْعَهْدُ الَّذِيْ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ، فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ
"Perjanjian antara kita dengan mereka adalah shalat, maka barangsiapa yang meninggalkannya berarti ia telah kafir." ( HR. Ahmad (5/346), at- Tirmidzi (2621), an-Nasa'i (1/222), Ibnu Majah (1079)).

Banyak sekali ayat dan hadits yang menyebutkan tentang agungnya shalat dan wajibnya memelihara pelaksanaanya.

Setelah tampak kebenaran ini dan setelah jelas dalil-dalilnya, maka tidak boleh seorang pun mengingkarinya hanya karena ucapan si fulan dan si fulan, karena Allah -subhanahu wata'ala- telah befirman,

"Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kem-balikanlah ia kepada Allah (al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (An-Nisa': 59).

Dalam ayat lain disebutkan,‏

"Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahNya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih." (An-Nur: 63).

Kemudian dari itu, banyak sekali manfaat dan maslahat yang terkandung di balik shalat berjamaah, di antaranya yang paling nyata adalah; saling mengenal, saling tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, saling menasehati dengan kebenaran dan kesabaran, sebagai dorongan bagi orang yang meninggalkannya, sebagai pelajaran bagi yang tidak tahu, sebagai pengingkaran terhadap kaum munafiqin dan cara menjauhi gaya hidup mereka, menampakkan syiar-syiar Allah di antara para hambaNya, mengajak ke jalan Allah -subhanahu wata'ala- dengan perkataan dan perbuatan, dan sebagainya.

Semoga Allah menunjukkan saya dan anda sekalian kepada yang diridhaiNya, dan kepada kemaslahatan urusan dunia dan akhirat, serta melindungi kita semua dari keburukan jiwa dan perbuatan kita, dan dari menyerupai kaum kuffar dan munafiqin. Sesungguhnya Dia Mahabaik lagi Mahamulia.

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wa bawakatuh. Shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi kita Muhammad, kepada keluarga dan para sahabatnya.

Sumber:
Asy-Syaikh Ibnu Baz, Tabshirah Wa Dzikra, hal. 53-57.
Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, penerbit Darul Haq.

Nasyid apakah Bid’ah ?

Cobaan nasyid dengan label "Islamy" telah menimpa kaum Muslimin sejak lama. Pada zaman Imam Syafi'i, nasyid tersebut dinamakan at-taghbir atau qashidah sufiyah atau qashidah zuhudiyyah, sedangkan masa sekarang ini disebut "nasyid Islamy'. Pertama kali nasyid hanya dibawakan bagi kalangan terbatas pada acara-acara tertentu, lalu berkembang disertai tabuhan papan dan gendang dan dinyanyikan oleh kaum lelaki yang selanjutnya sekarang bermunculan grup-grup nasyid khusus yang terekam suaranya dalam kaset. Dan tidak hanya dalam acara pernikahan, namun nasyid pun kemudian merambah ke acara keagamaan dengan alasan sebagai sarana dakwah.

Di sisi lain, kita mendapati bahwa semakin banyak pemuda pemudi yag malas menghafalkan Al-Quran dengan alasan tidak ada kesempatan dan sibuk dengan kegiatannya. Juga ada beberapa orang yang mengadu kepada ALLOH karena tidak bisa memelihara diri dengan kesibukannya atas nasyid-nasyid ini, karena memang banyak sekali kerusakan yang ditimbulkan oleh nasyid, antara lain:

1. Menghabiskan waktu.

2. Melakukan penyerupaan dengan musik dari Barat dan Timur, terutama kaum Nasrani.

3. Menyerupai kebiasaan orang-orang sufi suka melagukan dzikir.

4. Melibatkan anak-anak kecil dan gadis yang belum baligh dengan suaranya yang menarik.

5. Mengganti bacaan Al-Quran dan As-Sunnah dengan lagu dan nasyid, sehingga dimana-mana nasyid sudah menggeser bacaan Al-Quran.

6. Sering menggunakan beberapa instrumen musik.

7. Munculnya beberapa grup nasyid sebagai profesi, dan sebagian di antaranya adalah kaum lelaki.

8. Seringkali dalam nasyid terdapat kata-kata dusta, perumpamaan atau penggambaran yang melampaui batas.

Padahal jika kita mau menyimak, ALLOH telah memperingatkan dalam Kalam-Nya yang mulia:

"Dan apakah tidak cukup bagi mereka bahwa Kami telah menurunkan kepadamu Al-Kitab, sedangkan dia dibacakan kepada mereka? Sesungguhnya dalam (Al-Quran) itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang yang beriman" (Q.S. Al-Ankabut: 51)

Dalam tafsirnya, Syaikh Ibnu Sa'dy berkata: "Semua itu sudah cukup bagi orang yang menginginkan kebenaran dan berbuat untuk mencari kebenaran

Namun ALLOH tidak mencukupkan bagi orang yang tidak merasa cukup dengan Al-Quran dan Dia juga tidak memberikan kesembuhan kepada orang yang merasa tidak cukup mengambil obat dari Al-Quran. Siapa yang merasa cukup dengan Al-Quran dan menjadikannya sebagai petunjuk, maka dia mendapatkan rahmat dan kebaikan. Karena itulah, ALLOH berfirman, 'Sesungguhnya dalam (Al-Quran) itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang- orang yang beriman'. Pasalnya, di dalam Al-Quran bisa didapatkan ilmu yang banyak, kebaikan yang melimpah, pensucian bagi hati dan ruh, membersihkan akidah dan menyempurnakan akhlaq, di dalamnya terkandung pintu-pintu Ilahi dan rahasia-rahasia Robbani".

Dalam sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Imam Muslim, Rasulullah shalallahu 'alaihi wa salam bersabda:

"Lebih baik rongga seseorang di antara kalian diisi nanah daripada dia memenuhinya dengan sya'ir".

Ibnu Hajar menyatakan bahwa hadits ini sangat mencela syair dan menghardik orang-orang yang menyibukkan diri dengan syair agar lebih memperhatikan Al-Quran. Padahal dalam sebuah hadits disebutkan bahwa setiap huruf Al-Quran ada sepuluh kebaikan, sehingga sungguh merugi dan celakalah orang-orang yang menghabiskan waktu siang dan malamnya untuk kepentingan nasyid itu. Mereka melupakan hadits:

"Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak melagukan Al-Quran" (HR. Bukhori).

Menurut Al-Qurthuby artinya melagukannya agar dapat melalaikan yang lain. Ini juga merupakan penakwilan Al-Bukhory tentang ayat di atas.

Mengingat ruh dapat menguat karena hikmah dan pelajaran yang didengarnya serta membuatnya dapat hidup, maka ALLOH mensyari'atkan hamba-hamba- Nya untuk mendengarkan hal-hal yang dapat menguatkan hati dan menambah iman, yang terkadang pensyariatan itu hukumnya wajib, seperti mendengarkan Al-Quran, dzikir dan nasehat pada hari Jumat saat khutbah dan mendengarkan bacaan Al-Quran saat shalat jahr.

Sesungguhnya jika hati meyakini keagungan apa yang didengarnya dan memikirkan apa yang dikandung Al-Quran, tentu ia akan gemetar karena takut kepada ALLOH. Abu Sa'id Al-Khazzaz berkata, "Siapa mencintai ALLOH, berarti dia mencintai Kalam-Nya, sehingga dia tidak merasa kenyang membacanya". Dan perkataan Syaikhul Islam ibnu Taimiyah yang memuji sikap Imam Asy-Syafi'i yang meninggalkan at-taghbir: "Ini termasuk kesempurnaan pengetahuan Asy-Syafi'i dan ilmunya tentang agama. Sesungguhnya jika hati terbiasa mendengar qashidah dan bait-bait syair serta menikmatinya, tentu ia akan menghindar dari mendengarkan ayat-ayatAl- Quran.

Dia lebih suka mendengarkan perkataan syetan daripada mendengarkan perkataan ALLOH "

Penulis menukil penjelasan Syaikh Albany dalam bukunya "Pengharaman Alat-alat Musik", bahwa kaum sufi banyak menyanyikan lagu karena dorongan hawa nafsu dan kebodohan terhadap tipu daya setan, karena hal tersebut adalah cara haram untuk mendekat kepada ALLOH. Apapun namanya 'nasyid religius' itu, entah dengan cara mendengarnya atau menyimaknya, lagu tersebut merupakan hal baru yang diada-adakan, yang tidak pernah dikenal pada abad-abad yang diketahui sebagai abad yang diwarnai dengan kebaikan.

 Ibnu Taimiyah berkata, "Secara pasti sudah diketahui dalam Islam bahwa Nabi Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam tidak mensyari'atkan kepada orang-orang yang sholih dari umat ini, ahli ibadah dan zuhud untuk berkumpul mendengarkan bait-bait syair yang dilantunkan dengan tepuk tangan atau tabuhan gendang, sebagaimana beliau melarang seseorang mengikuti apa-apa yang biasa dilakukan ahli hikmah, baik yang berkaitan dengan urusan zhahir atau batin, baik bagi orang awam atau orang khusus".

Dan Syaikh Albany menjelaskan bahwa majelis dzikir orang sufi yang di dalamnya dilantunkan lagu-lagu itu pantas dinamakan majelis dendang lagu dan bukan Majelis

dzikir seperti sangkaan mereka, atau majelis nyanyian dan bukan Majelis

membaca Al-Quran atau sholawat kepada Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam.

Pada halaman selanjutnya, penulis membawakan fatwa dari Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan yang intinya bahwa penamaan nasyid Islami merupakan penamaan baru. Di seluruh kitab orang-orang salaf ataupun pernyataan para ulama, tidak ada nama nasyid Islami. ALLOH mensyariatkan dzikir kepada-Nya, membaca Al-Quran dan mempelajari ilmu yang bermanfaat, adapun nasyid itu berasal dari agama orang sufi yang memang biasa membuat bid'ah, menjadikan agama mereka sebagai permainan dan senda gurau.

Selanjutnya dibawakan pula fatwa dari Syaikh Muhammad bin Shalih bin Al-Utsaimin bahwa jika nasyid itu dilantunkan apa adanya tanpa dendangan dan tanpa diiringi tabuhan alat musik, maka tidak ada salahnya jika mendengarnya. Tapi dengan syarat, seseorang tidak boleh menjadikannya sebagai kebiasaan dan hatinya tidak boleh bergantung kepadanya, sehingga tidak bisa mengambil manfaat kecuali dengan sambil mendengar nasyid, karena memang nasyid ini adalah buatan orang sufi, sehingga harus ditinggalkan dan kembali kepada AlQuran dan As-Sunnah, kecuali jika berada di medan jihad untuk membakar semangat, maka hal ini bagus.

Syaikh Ahmad bin Yahya bin Muhammad An-Najmy memberi fatwa bahwa tidak diragukan lagi nyanyian pada zaman sekarang ini -yang katanya untuk membangkitkan hati- adalah sebenarnya tidak membangkitkan kecuali keinginan terhadap dunia dan menghindari akhirat, merusak akhlak dan ilmu. Kemudian masih ada dua fatwa lagi mengenai bid'ahnya nasyid Islami ini yang dapat Anda baca di halaman selanjutnya.

Pada bagian akhir, dijelaskan bahwa gerakan hati secara sempurna bagi orang

yang berakal itu bersumber dari mendengarkan Al-Quran, terutama untuk menyembuhkan hati yang sakit, meskipun tidak setiap orang layak mendapat taufik untuk mencari kesembuhan dengan Al-Quran. Dan dinafikan pula oleh Ibnul Qoyyim mengenai penyembuhan hati lewat tangan para pujangga, penyair, penutur cerita atau pada penyanyi nasyid Islami, karena mereka hanya akan menambah sakit.

Dalam bagian penutup, penulis menyajikan fatwa Syaikhul Islam ibnu Taimiyah mengenai mendengarkan yang sesuai dengan syar'i, yaitu dengan mendengarkan Al-Quran, karena inilah perbuatan para nabi, orang-orang yang berilmu, dan orang-orang Mukmin. Islam sudah diturunkan dengan sempurna, sehingga Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam tidak akan mengabaikan kemaslahatan agama dan tidak akan melupakan sesuatu yang dapat mendekatkan orang Mukmin kepada ALLOH. Dan bagi orang yang terkena cobaan nasyid ini, penulis memberikan cara penyembuhannya, sampai kemudian beliau menutup risalah ini dengan memberikan nasehat: "Engkau akan mendapatkan dari Al Quran apapun yang engkau kehendaki, baik ilmu, bashiroh, hidayah, ataupun yang lainnya".

Berikut ana bawakan fatwa –fatwa ulama ahlus sunnah  :

NASYID-NASYID ISLAMI ADALAH TERMASUK KEKHUSUSAN ORANG-ORANG SUFI

Oleh

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

Pertanyaan

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : Apa hukum nasyid-nasyid Islami ?

Jawaban

Yang aku lihat nasyid-nasyid yang disebut nasyid-nasyid agama, dahulunya adalah termasuk kekhususan thariqah-thariqah kaum sufi. Dan kebanyakan para pemuda mukmin mengingkarinya lantaran sikap ghuluw kepada Rasul Shallallahu کalaihi wa sallam dan beristhighatsah kepada beliau, bukan kepada Allah. Kemudian muncul nasyid-nasyid baru dalam masalah itiqad sebagai perkembangan dari nasyid-nasyid jaman dulu tersebut. Di dalamnya ada yang lurus maka tidaklah mengapa, karena jauh dari perihal kesyirikan dan paganisme (sebagaimana) yang terdapat di dalam nasyid-nasyid lama. Namun perlu diperhatikan bahwa bagi setiap muslim wajib menetapi jalan yang telah ditempuh Rasulullah Shallallahu کalaihi wa sallam.

Setiap orang yang meneliti kitabullah dan hadits Rasulullah Shallallahu کalaihi wa sallam dan apa yang telah ditempuh oleh salafush shalih, maka secara mutlak tidak akan mendapati apa yang mereka namakan nasyid agamis, meski nasyid ini telah diluruskan dari (penyimpangan) nasyid-nasyid lama yang mengandung sikap ghuluw dalam memuji Rasul Shallallahu کalaihi wa sallam. Maka cukup bagi kita untuk mengambil dalil dalam mengingkari nasyid-nasyid ini yang mulai merebak di kalangan para pemuda dengan klaim bahwasanya tidak ada penyelisihan terhadap syarâi, cukuplah bagi kita dalam sisi penunjukan dalil atas hal itu dengan dua perkara berikut.

Pertama : Bahwa nasyid-nasyid ini bukan termasuk jalan kaum Salafush Shalih.

Kedua : Dan ia pada kenyataannya berdasarkan apa yang aku rasakan dan saksikan, ternyata bahaya juga. Hal itu karena kita mulai melihat para pemuda muslim terlena dengan nasyid-nasyid agamis ini dan bernyanyi dengannya sebagaimana dikatakan pada masa lalu hajiirah adat kebiasaannya seterusnya dan selamanya. Lalu hal itu memalingkan mereka dari perhatiannya untuk membaca Al-Quran dan berdzikir kepada Allah, serta bershalawat kepada Nabi Shallallahu کalaihi wa sallam sesuai dengan hadits-hadits shahih yang menjelaskannya. Oleh karena itulah barangkali dari sebab ini dan penyimpangan yang lain Nabi Shallallahu کalaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Baguskanlah suaramu dengan Al-Qur’an, dan jagalah ia (tetaplah membacanya). Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tanganNya, sungguh Al-Qur’an itu lebih mudah hilang (lupa/lepas dengan cepat) dari dalam dada manusia ketimbang onta (yang diikat) dari tambatannyaâ€‌ [1]

[Diringkas dari kitab Al-Bayaan Al-Mufiid An Hukmit Tamtsiil Wal Anaasyiid, Abdullah Al-Sulaimani, Pengantar Syaikh Shalih Al-Fauzan]

NASYID ISLAMI ADALAH NASYID BIDAH

Oleh

Syaikh Muhamamd bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan

Syaikh Muhamamd bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bolehkah kaum laki-laki melantunkan nasyid-nasyid bersama-sama ? Apakah boleh nasyid diiringi dengna pukulan rebana ? Dan apakah nasyid diperbolehkan pada selain hari raya dan pesta kegembiraan ?

Jawaban

Nasyid Islami adalah nasyid bid’ah, serupa dengan apa yang dibuat-buat oleh orang-orang sufi. Oleh karena itu selayaknya (kita) berpaling dari nasyid itu dan menggantinya dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kecuali dalam saat-saat peperangan agar memberikan motivasi keberanian dan berjihad di jalan Allah Azza wa Jalla maka hal ini adalah baik. Dan jika berkumpul dengan (tabuhan) rebana, maka hal itu lebih jauh lagi dari kebenaran.

[Fatawa Syaikh Muhammad Al-Utsaimin, dihimpun oleh Asyraf Abdul Maqshud, hal. 134]
Oleh

Syaikh Shalih Alu Syaikh

Pertanyaan.

Syaikh Shalih Alu Syaikh ditanya : Pada masa kini banyak terdapat sarana-sarana dakwah ke jalan Allah. Sebagiannya membuat aku bingung seperti patung dan nasyid. Apakah yang semacam ini diperbolehkan ataukah tidak ?

Jawaban

Nasyid-nasyid yang saya ketahui dari pembicaraan ulama kita yang kalam mereka dijadikan fatwa, bahwa mereka tidak membolehkannya, karena nasyid datang lewat jalan ikhwanul muslimin, sedang ikhwanul muslimin menjadikan bagian tarbiyah mereka adalah nasyid.
Nasyid pada waktu dahulu biasa dikerjakan oleh thriqah-thariqah sufiyah seperti satu macam dari kesan/pengaruh bagi orang yang menginginkannya.

Nasyid-nasyid di negeri ini (Arab Saudi), dan didendangkan dalam berbagai kegiatan. Ahlul Ilmi berfatwa terhadap apa yang nampak dari kenyataan ini, bahwa ia tidak boleh.

Imam Ahmad mengatakan tentang taghbir yang dibuat-buat oleh kaum sufi yang serupa dengan nasyid yanga da pada zaman sekarang, “Itu adalah perkara baru dan bid’ah; yang dikehendaki darinya ialah memalingkan orang-orang dari Al-Qur’anâ€‌. Dahulu mereka menamakannya nyanyian yang terpuji (puji-pujian) padahal sebenarnya ia bukanlah nyanyian terpuji tapi tercela..!

[Diambil secara ringkas dari fatwa yang panjang dalam kaset yang berjudul : Fatwa Ulama tentang apa yang dinamakan nasyid islami, terbitan rekaman Minhajus Sunnah Riyadh]

[Disalin dari Majalah Al-Furqon Edisi 6 Tahun IV, hal.35-36. Penerbit Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik, Jatim]
_________

Foote Note.

[1]. Diriwayatkan oleh Bukhari 5032, Muslim 1314, 1315 dan selainnya, dengan lafadz : Dari sejelek-jelek ucapan seseorang adalah “ Saya lupa ayat ini dan ituâ€‌ tetapi (yang benar ialah) ia telah dilupakan. Ingat-ingatlah Al-Qur’an, karena ia lebih mudah pergi (hilang) dan menjauh dari dalam dada manusia, daripada hewan ternak (yang diikat pada tiangnya).

Dan dalam riwayat lain.

“Tetaplah kamu membaca Al-Qur’an ini, demi Dzat yang jiwa Muhammad berada ditanganNya, sungguh Al-Qur’an itu lebih mudah hilang (dari ingatan seseorang) dari pada onta yang terikat ditambatannyaâ€‌ [Muslim No. 1317, Ahmad No. 16679, 16721, dan selainnya].

Berikut ana kutipkan Fatwa dari Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah,

HUKUM NYANYIAN ATAU LAGU

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Baz

Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Apa hukum menyanyi, apakah haram atau diperbolehkan, walaupun saya mendengarnya hanya sebatas hiburan saja ? Apa hukum memainkan alat musik rebab dan lagu-lagu klasik ? Apakah menabuh genderang saat perkawinan diharamkan, sedangkan saya pernah mendengar bahwa hal itu dibolehkan ? Semoga Allah memberimu pahala dan mengampuni segala dosamu.

Jawaban.
Sesungguhnya mendengarkan nyanyian atau lagu hukumnya haram dan merupakan perbuatan mungkar yang dapat menimbulkan penyakit, kekerasan hati dan dapat membuat kita lalai dari mengingat Allah serta lalai melaksanakan shalat. Kebanyakan ulama menafsirkan kata lahwal hadits (ucapan yang tidak berguna) dalam firman Allah dengan nyanyian atau lagu.

“Artinya : Dan diantara manusia (ada) orang yang mempergunakan ucapan yang tidak bergunaâ€‌ [Luqman : 6]

Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu â€کanhu bersumpah bahwa yang dimaksud dengan kata lahwul hadits adalah nyanyian atau lagu. Jika lagu tersebut diiringi oleh musik rebab, kecapi, biola, serta gendang, maka kadar keharamannya semakin bertambah. Sebagian ulama bersepakat bahwa nyanyian yang diiringi oleh alat musik hukumnya adalah haram, maka wajib untuk dijauhi. Dalam sebuah hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu â€کalaihi wa sallam beliau berpendapat.

“Artinya : Sesungguhnya akan ada segolongan orang dari kaumku yang menghalalkan zina, kain sutera, khamr, dan alat musikâ€‌ [1]

Yang dimaksud dengan al-hira pada hadits di atas adalah perbuatan zina, sedangkan yang dimaksud al-ma’azif adalah segala macam jenis alat musik. Saya menasihati anda semua untuk mendengarkan lantunan al-Qur’an yang di dalamnya terdapat seruan untuk berjalan di jalan yang lurus karena hal itu sangat bermanfaat. Berapa banyak orang yang telah dibuat lalai karena mendengar nyanyian dan alat musik.

Adapun pernikahan, maka disyariatkan di dalamnya untuk membunyikan alat musik rebana disertai nyanyian yang biasa dinyanyikan untuk mengumumkan suatu pernikahan, yang didalamnya tidak ada seruan maupun pujian untuk sesuatu yang diharamkan, yang dikumandangkan pada malam hari khusus bagi kaum wanita guna mengumumkan pernikahan mereka agar dapat dibedakan dengan perbuatan zina, sebagaimana yang dibenarkan dalam hadits shahih dari Nabi Shallallahu â€کalaihi wa sallam

Sedangkan genderang dilarang membunyikannya dalam sebuah pernikahan, cukup hanya dengan memukul rebana saja. Juga dalam mengumumkan pernikahan maupun melantunkan lagu yang biasa dinyanyikan untuk mengumumkan pernikahan tidak boleh menggunakan pengeras suara, karena hal itu dapat menimbulkan fitnah yang besar, akibat-akibat yang buruk, serta dapat merugikan kaum muslimin. Selain itu, acara nyanyian tersebut tidak boleh berlama-lama, cukup sekedar dapat menyampaikan pengumuman nikah saja, karena dengan berlama-lama dalam nyanyian tersebut dapat melewatkan waktu fajar dan mengurangi waktu tidur. Menggunakan waktu secara berlebihan untuk nyanyian (dalam pengumuman nikah tersebut) merupakan sesuatu yang dilarang dan merupakan perbuatan orang-orang munafik.

[Bin Baz, Mjalah Ad-Dakwah, edisi 902, Syawal 1403H]


[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-3, Darul Haq]
_________
Foote Note
[1] Al-Bukhari tentang minuman dalam bab ma ja’a fi man yastahillu al-khamr wa yusmmihi bi ghairai ismih

Hukum Televisi
Tanya:
Apa hukum televisi?

Jawab:
Tidak diragukan, bahwa keberadaan televisi dewasa ini hukumnya haram. Meskipun sebenarnya televisi, demikian juga radio, alat perekam, atau alat semacamnya merupakan bagian-bagian dari nikmat Allah Suhanahu wa Ta'ala yang diberikan kepada hamba-Nya. Sebagaimana firman Allah dalam surat Ibrohim ayat 34: "Dan jika kamu menghitung nikmat Allah , tidaklah kamu dapat menghitungnya. "

Sebagaimana kita ketahui, pendengaran, penglihatan ataupun lidah adalah karunia Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagai nikmat untuk hamba-hamba- Nya. Akan tetapi, kebanyakan nikmat ini menjadi adzab atas orang yang memilikinya. Sebab mereka tidak menggunakannya dijalan yang dicintai Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sementara itu, televisi, radio, alat perekam dan sejenisnya dikatakan sebagai nikmat, kapan hal itu terjadi ? Jawabnya, pada saat mempunyai nilai manfaat untuk umat.

Televisi dewasa ini, 99% banyak menayangkan nilai-nilai atau faham-faham kefasikan, perbuatan dosa, nyayian haram, ataupun perbutaan yang mengumbar hawa nafsu, dan lain-lain sejenisnya. Hanya 1 % tayangan televisi yang dapat diambil manfaatnya. Jadi kesimpulan hukum televisi itu dilihat dari penayangan yang dominan.

Jika telah terdapat Daulah Islamiyah, dan dapat menerapkan kurikulum ilmiah yang berfaedah bagi umat, maka berkaitan dengan televisi untuk saat itu; saya tidak hanya mengatakan boleh (jaiz) tetapi wajib hukumnya.

(Dinukil dari al Ashalah 10/15 Syawal 1414 H hal. 40, Edisi Indonesia "25 fatwa", Fadhilatus Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah terbitan Semarang, 1995)

APAKAH HUKUMNYA TELEVISI HARAM ATAU MAKRUH ATAU BOLEH
Oleh
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin

Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Segala puji hanya bagi Allah, rahmat dan kesejahteraan semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarga dan sahabatnya. Wa ba’du : Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiyah Wal Ifta telah meneliti pertanyaan yang diajukan dari Hifzhi bin Ali Zaini kepada pimpinan umum dan dipindahkan kepadanya dari sekretaris umum no. 1006 dan tanggal 19/12/1398H

Dan isinya adalah : Istri saya meminta dibelikan televisi dan saya tidak menyukainya. Saya berharap kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, kemudian kepada kalian penjelasan tentang televisi. Apakah hukumnya haram atau makruh atau boleh. Di mana saya tidak menyukai membeli keperluan yang haram ?

Jawaban
Pesawat televisi itu sendiri tidak bisa dikatakan haram, dan tidak pula makruh dan tidak pula boleh. Karena ia adalah benda yang tidak berbuat apapun. Sesungguhnya hukumnya sangat tergantung dengan perbuatan hamba, bukan dengan dzat sesuatu. Maka membuat televisi dan menjadikannya (sebagai alat) untuk menyebarkan hadits atau program sosial yang baik, hukumnya boleh. Jika yang ditampilkan adalah gambar-gambar yang menggiurkan lagi membangkitkan syahwat, seperti gambar-gambar wanita telanjang, gambar laki-laki yang menyerupai perempuan dan yang sama pengertian dengan hal tersebut. Atau yang didengar adalah yang diharamkan, seperti lagu-lagu cabul, kata-kata yang tidak bermoral, suara para artis kendati dengan lagu-lagu yang tidak cabul. Nanyian laki-laki yang melembutkan suara dalam nyanyian mereka, atau menyerupai wanita padanya, maka ia diharamkan.

Dan inilah kebiasaan dalam penggunaan televisi di masa sekarang, karena kuatnya kecenderungan manusia kepada hiburan dan kekuasaan hawa nafsu atas jiwa kecuali orang yang dipelihara oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sangat sedikit sekali.

Sebagai kesimpulan : Duduk di depan tetevisi atau mendengarkannya atau melihat acaranya, selalu mengikuti dalam penentuan hukum halal dan haram dari apa yang dilihat atau yang didengar. Terkadang sesuatu yang diperbolehkan untuk didengar dan untuk duduk di depannya menjadi dilarang karena faktor menyia-nyiakan waktu senggang dan berlebihan padanya, yang kadang kala manusia sangat membutuhkan kesibukan yang bermanfaat untuk dirinya, keluarganya dan umatnya dengan manfaat yang merata dan kebaikan yang banyak. Wajib bagi setiap muslim menurut agama, untuk tidak membelinya, mendengarkannya dan melihat yang ditayangkan di dalamnya ; karena merupakan sarana kepada mendengarkan dan melihat yang diharamkan.

Semoga rahmat dan kesejahteraan Allah tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

[Fatwa ini diucapkan dan didiktekan oleh Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Darul Haq]