RSS

Jumat, 26 Agustus 2011

مرحبا يا رمضان Marhaban Ya Ramadhan

Allah عز وجل telah mngistimewakan bulan Ramadhan dari bulan-bulan yang lainnya dengan berbagai keutamaan di dalamnya. Karena itu, sepatutnya kita sebagai umat Islam hendaknya beribadah dengan giat di bulan itu,dengan semakin taat dengan perintah-Nya dan menjauhi larangannya.

Di bulan tersebut Allah عز وجل memerintahkan kita untuk berpuasa satu bulan penuh sesuai dengan firman-Nya :

{183:يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ   عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ {سورة البقرةْ

"Wahai orang-orang yang beriman!Telah diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa"{Al-Baqarah:183}

Di bulan itu juga didalamnya diturunkan Al-Quran, Lailatul Qadr yang dimana satu malamnya lebih baik daripada seribu bulan . 

Jumat, 11 Maret 2011

Isra' Mi’raj

Isra' Mi’raj

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


Ahlus Sunnah mengimani bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah di-isra’-kan oleh Allah dari Makkah ke Baitul Maqdis lalu di-mi’rajkan (naik) ke langit dengan ruh dan jasadnya dalam keadaan sadar [1] sampai ke langit yang ke tujuh, ke Sidratul Muntaha. Kemu-dian (beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam) memasuki Surga, melihat Neraka, melihat para Malaikat, mendengar pembicaraan Allah, bertemu dengan para Nabi, dan beliau mendapat perintah shalat yang lima waktu sehari semalam. Dan beliau kembali ke Makkah pada malam itu juga. [2]

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:“(Jibril) telah datang kepadaku bersama Buraq, yaitu hewan putih yang tinggi, lebih tinggi dari keledai dan lebih pendek dari kuda, yang dapat meletakkan kakinya (melangkah) sejauh pandangannya.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Maka aku menaikinya hingga sampailah aku di Baitul Maqdis, lalu aku turun dan mengikatnya dengan tali yang biasa dipakai oleh para Nabi.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Kemudian aku masuk ke masjid al-Aqsha dan aku shalat dua raka’at di sana, lalu aku keluar. Kemudian Jibril Alaihissalam membawakan kepadaku satu wadah khamr dan satu gelas susu, maka aku memilih susu, lalu Jibril berkata kepadaku: ‘Engkau telah memilih fitrah (kesucian).’”

Lanjut beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Kemudian Buraq tersebut naik bersamaku ke langit, maka Jibril meminta agar dibukakan pintu langit, lalu ia ditanya: ‘Siapa engkau?’ Jibril menjawab: ‘Jibril.’ Jibril ditanya lagi: ‘Siapakah yang bersamamu?’ Jibril menjawab: ‘Muhammad.’ Jibril ditanya lagi: ‘Apakah dia telah diutus?’ Ia men-jawab: ‘Dia telah diutus.’ Kami pun dibukakan pintu lalu aku bertemu (Nabi) Adam Alaihissalam. Beliau menyambutku dan men-do’akan kebaikan untukku. Kemudian Buraq tersebut naik ber-sama kami ke langit kedua, maka Jibril Alaihissalam mohon dibukakan pintu, lalu ia ditanya: ‘Siapa engkau?’ Ia menjawab: ‘Jibril.’ Ia ditanya lagi: ‘Siapa yang bersamamu?’ Jibril menjawab: ‘Muhammad.’ Ia ditanya lagi: ‘Apakah dia telah diutus kepada-Nya?’ Jibril menjawab: ‘Dia telah diutus.’” Kata Nabi: “Maka kami dibukakan pintu lalu aku bertemu dengan dua orang sepupuku, yaitu ‘Isa bin Maryam dan Yahya bin Zakaria Alaihimussalam, maka keduanya menyambutku dan mendo’akan kebaikan untukku.”

(Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan): “Kemudian Buraq tersebut naik bersama kami ke langit ketiga, maka Jibril Alaihissalam minta dibukakan pintu, lalu ia ditanya: ‘Siapa engkau?’ Dia menjawab: ‘Jibril.’ Dia ditanya lagi: ‘Siapa yang bersamamu?’” Dia menjawab: ‘Muhammad.’ Dia ditanya lagi: ‘Apakah dia telah diutus kepada-Nya?’ Dia menjawab: ‘Dia telah diutus kepada-Nya.’” Kata Nabi: “Maka kami dibukakan pintu, lalu aku bertemu Nabi Yusuf Alaihissalam yang telah dianugerahi setengah dari ketampanan manusia sejagat.” Kata Nabi: “Maka Yusuf menyambutku dan mendo’akan kebaikan untukku.”

(Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan): “Kemudian Buraq tersebut naik bersama kami ke langit yang keempat, maka Jibril Alaihissalam minta dibukakan pintu, lalu ia ditanya: ‘Siapa engkau?’ Dia menjawab: ‘Jibril.’ Dia ditanya lagi: ‘Siapa yang bersamamu?’ Dia menjawab: ‘Muhammad.’ Dia ditanya lagi: ‘Apakah dia telah diutus kepada-Nya?’ Dia menjawab: ‘Dia telah diutus kepada-Nya.’” Kata Nabi: “Maka kami dibukakan pintu, lalu aku bertemu Idris Alaihissalam, ia menyambutku dan mendo’akan kebaikan untukku. Allah Azza wa Jalla telah berfirman (untuknya): ‘Dan kami telah mengangkatnya ke tempat yang tinggi.’”

(Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan): “Kemudian Buraq tersebut naik bersama kami ke langit yang kelima, maka Jibril Alaihissalam minta dibukakan pintu, lalu ia ditanya: ‘Siapa engkau?’ Dia menjawab: ‘Jibril.’ Dia ditanya lagi: ‘Siapa yang bersamamu?’ Dia menjawab: ‘Muhammad.’ Dia ditanya lagi: ‘Apakah dia telah diutus kepada-Nya?’

Rabu, 09 Februari 2011

CARA MENGHITUNG ZAKAT MAL


Segala puji hanya milik Allâh Ta'ala, shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan sahabatnya.
Harta benda beserta seluruh kenikmatan dunia diciptakan untuk kepentingan manusia, agar mereka bersyukur kepada Allâh Ta’ala dan rajin beribadah kepada-Nya. Oleh karena itu tatkala Nabi Ibrahim 'alaihissalam, meninggalkan putranya, Nabi Ismail 'alaihissalam di sekitar bangunan Ka’bah, beliau berdoa:
Qs. Ibrâhîm/14:37
Ya Rabb kami,
sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku
di lembah yang tidak mempunyai tanaman di dekat rumah-Mu yang dihormati.
Ya Rabb kami,
(yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat,
maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka
dan berilah mereka rizki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.

(Qs. Ibrâhîm/14:37)
Inilah hikmah diturunkannya rizki kepada umat manusia, sehingga bila mereka tidak bersyukur, maka seluruh harta tersebut akan berubah menjadi petaka dan siksa baginya.
Qs. at-Taubah/9:34-35
…Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak
dan tidak menafkahkannya pada jalan Allâh,
maka beritahukanlah kepada mereka
(bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.
Pada hari dipanaskan emas dan perak itu dalam neraka Jahannam,
lalu dahi, lambung dan punggung mereka dibakar dengannya,
(lalu dikatakan) kepada mereka:
“Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri,
maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”.

(Qs. at-Taubah/9:34-35)

Ibnu Katsir rahimahullâh berkata:
“Dinyatakan bahwa setiap orang yang mencintai sesuatu dan lebih mendahulukannya dibanding ketaatan kepada Allâh, niscaya ia akan disiksa dengannya. Dan dikarenakan orang-orang yang disebut pada ayat ini lebih suka untuk menimbun harta kekayaannya daripada mentaati keridhaan Allâh, maka mereka akan disiksa dengan harta kekayaannya. Sebagaimana halnya Abu Lahab, dengan dibantu oleh istrinya, ia tak henti-hentinya memusuhi Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, maka kelak pada hari kiamat, istrinya akan berbalik ikut serta menyiksa dirinya. Di leher istri Abu Lahab akan terikatkan tali dari sabut, dengannya ia mengumpulkan kayu-kayu bakar di neraka, lalu ia menimpakannya kepada Abu Lahab. Dengan cara ini, siksa Abu Lahab semakin terasa pedih, karena dilakukan oleh orang yang semasa hidupnya di dunia paling ia cintai. Demikianlah halnya para penimbun harta kekayaan. Harta kekayaan yang sangat ia cintai, kelak pada hari kiamat menjadi hal yang paling menyedihkannya. Di neraka Jahannam, harta kekayaannya itu akan dipanaskan, lalu digunakan untuk membakar dahi, perut, dan punggung mereka”.[1]
Ibnu Hajar al-Asqalâni rahimahullâh berkata:

SHALAT TARAWIH


Syaikh Shâlih bin Fauzân hafizhahullâh ditanya:
Bagaimanakah shalat tarawih, tahajjud dan witir Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dilihat dari jumlah raka'at, cara dan waktunya?
Beliau menjawab:
Riwayat yang shahîh dari Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bahwa Beliau tidak pernah shalat pada bulan Ramadhan atau bulan lainnya lebih dari sebelas raka’at.[1]
Dalam riwayat lain, tidak lebih dari tiga belas.[2]
Akan tetapi, Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam memperlama berdiri, sujud dan memperbanyak do’a pada saat ruku‘ dan sujud, sampai-sampai diceritakan dalam riwayat Hudzaifah radhiyallâhu'anhu bahwa Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam membaca al-Baqarah, an-Nisâ‘ dan Ali ‘Imran.
Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam membaca dengan pelan-pelan. Beliau berdo’a saat membaca ayat-ayat tentang rahmat, dan memohon perlindungan ketika membaca ayat-ayat tentang siksa Allâh Ta'ala. Jika melewati ayat yang mengandung tasbih, Beliau bertasbih. Waktu ruku‘ Beliau hampir sama dengan lama berdirinya,[3]sujudnya hampir sama dengan ruku’nya.
Inilah sunnah Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dalam shalat malam dan tahajjud Beliau secara umum. Seorang muslim hendaklah shalat sesuai dengan kemampuannya. Jika dia mengikuti Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam maka itu bagus.
Waktu melaksanakan shalat tahajjud ialah sepanjang malam. Akan tetapi, yang paling bagus ialah pada akhir malam, saat Allâh Ta'ala turun pada sepertiga malam terakhir.[4]
(Adapun) cara shalatnya, yaitu shalat dua raka’at-dua raka’at, berdasarkan sabda Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam :
صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنىَ مَثْنىَ
Shalat malam itu dua dua.[5]
Sedangkan mengenai witir, disebutkan oleh para ahli ilmu bahwa witir itu, minimal satu raka’at, dan maksimal sebelas atau tiga belas raka’at. Untuk ukuran kesempurnaan yang paling rendah ialah tiga raka’at dengan dua kali salam.
Bagi seorang muslim semestinya shalat bersama imam sampai ia selesai, serta menyempurnakan shalat witir dengan imam. Berdasarkan sabda Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam :
مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ
Barangsiapa yang shalat bersama imam sampai imam selesai,
maka dicatat untuknya shalat satu malam.[6]
Jika ingin menambah pada akhir malam, maka dia bisa shalat tahajjud, dan cukup baginya witir yang pertama, tidak perlu mengulangi witir dua kali. Cukuplah baginya shalat witir yang dikerjakan bersama imam, dan setelah itu dia tidak dilarang melakukan shalat tahajjud.
(Al-Muntaqâ min Fatâwâ Fadhilatisy- Syaikh Shâlih bin Fauzân, 4/49-51)


Syaikh Shâlih bin Fauzân hafizhahullâh ditanya:
Apa hukum shalat tarawih dan tahajjud? Kapan waktunya? Berapa jumlah raka’atnya? Bolehkah melakukan shalat tahajjud bagi orang yang sudah melaksanakan shalat sunnah witir setelah tarawih? Haruskah shalat tarawih bersambung dengan shalat ‘Isya`? Maksudnya, tarawih dikerjakan langsung setelah shalat ‘Isya`, atau, jika jama’ah sepakat untuk menunda pelaksanaannya, setelah shalat ‘Isya` mereka bubar dan berkumpul lagi (setelah itu) untuk shalat tarawih, boleh atau tidak?

Beliau menjawab:
Shalat tarawih itu sunnah muakkadah (yang ditekankan), dan dilakukan langsung setelah shalat Isya‘ dan sunnah rawatib-nya. Inilah yang telah dilakukan kaum Muslimin. Sedangkan menunda pelaksanaannya sampai waktu lain (sebagaimana yang ditanyakan), meninggalkan mesjid setelah shalat 'Isya' kemudian kembali lagi ke masjid untuk mengerjakan shalat tarawih, maka perbuatan seperti ini bertentangan dengan kebiasaan yang telah berjalan.
Para ulama menyebutkan, shalat tarawih dikerjakan setelah shalat ‘Isya` dan sunnah rawatib-nya. Seandainya jama’ah menunda pelaksanaannya, kami tidak mengatakan ini haram, akan tetapi hal ini berbeda dengan kebiasaan yang sudah berlaku, yaitu shalat tarawih dikerjakan di awal malam. Inilah yang sudah berlaku. Adapun tahajjud, itu juga sunnah dan memiliki keutamaan yang besar. Shalat tahajjud ialah shalat setelah tidur, terutama pada sepertiga malam terakhir atau sepertiga malam setelah malam. Ini memiliki keutamaan yang agung, berpahala banyak, termasuk shalat sunnah yang terbaik yaitu tahajjud pada malam hari. Allâh Ta'ala berfirman :
Qs al-Muzammail/73:6
Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk)
dan bacaan di waktu itu lebih berkesan.
(Qs al-Muzammail/73: 6)
Dan juga berarti telah mengikuti Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Kalau ada seseorang yang shalat tarawih dan shalat witir bersama imam, kemudian ditengah malam ia bangun dan shalat tahajjud, maka hal itu tidak terlarang. Dia tidak perlu mengulangi shalat witir. Cukup baginya shalat witir yang sudah dikerjakan bersama imam. Dia boleh melakukan tahajjud sesuai dengan kemampuannya. Adapun jika ia ingin menunda shalat witir pada akhir malam, maka tidak mengapa, akan tetapi ia tidak mendapatkan pahala mengikuti imam. Yang terbaik untuknya, ialah mengikuti imam dan melakukan shalat witir bersamanya. Berdasarkan sabda Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam:
مَنْ قَامَ مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ
Barangsiapa yang shalat bersama imam sampai imam selesai, maka dicatat untuknya shalat satu malam. [6]
Dia bisa mengikuti imam, witir bersamanya, dan ini semua tidak menghalangi dirinya bangun malam hari dan shalat tahajjud semampunya.
(Al-Muntaqâ min Fatâwâ Fadhilatisy-Syaikh Shâlih bin Fauzân, 3/76-77)
[1]
Lihat Shahih Imam Bukhari (2/47-48), dari hadits ‘Aisyah radhiyallâhu'anha
[2] Lihat Shahih Imam Bukhari (2/45-46), dari hadits ‘Aisyah radhiyallâhu'anha, dan hlm. 45 dari hadits ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallâhu'anhu.
[3] HR Imam Muslim rahimahullâh dalam Shahih-nya (1/536-537), dari hadits Hudzaifah radhiyallâhu'anhu.
[4] Lihat Shahih Imam Bukhari (8/197), dari hadits Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu.
[5] Diriwayatkan oleh Imam Bukhari rahimahullâh (2/45), dari hadits Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu.
Dan dalam hadits itu diceritakan bahwa ada seseorang yang bertanya: “Wahai, Rasûlullâh. Bagaimanakah cara shalat malam?”
Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjawab, ”Dua-dua. Jika engkau khawatir Shubuh, maka witirlah dengan satu raka’at.”
[6] Diriwayatkan Abu Dawud rahimahullâh dalam Sunan-nya (2/51), at-Tirmidzi rahimahullâh dalam Sunan-nya (3/147), an-Nasa‘i rahimahullâh dalam Sunan-nya (3/83-84), Ibnu Majah rahimahullâh dalam Sunan-nya (1/420). Semuanya dari hadits Abu Dzar radhiyallâhu'anhu

GOLONGAN YANG MASUK SURGA TANPA HISAP DAN ADZAB

عَنْ حُصَيْن بْنِ عَبْدِ الرَّ حْـمَنٍ قَالَ كُنْتُ عِنْدَ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ فَقَالَ أَيُّكُمْ رَأَى الْكَوْكَبَ الَّذِي انْقَضَّ الْبَارِحَةَ قُلْتُ أَنَا ثُـمَّ قُلتُ أَمَا إِنِّـي لَـمْ أَكُنْ فِـي صَلاَةٍ وَلَكِنِّـي لُدِغْتُ قَالَ فَمَاذَا صَنَعْتَ قُلْتُ اسْـتَرْقَيْـتُ قَالَ فَمَا حَمَلَكَ عَلَى ذَلِكَ قُلْتُ حَدِيثٌ حَدَّثَنَاهُ الشَّعْبِـيُّ فَقَالَ وَمَا حَدَّثَكُمُ الشَّعْبِـيُّ قُلْتُ حَدَّثَنَا عَنْ بُرَيْدَةَ بْنِ حُصَيْبٍ اْلأَسْلَمِـيِّ أَنَّهُ قَالَ لاَ رُقْيَةَ إِلاَّ مِنْ عَيْـنٍ أَوْ حُـمَةٍ فَقَالَ قَدْ أَحْسَـنَ مَنِ انْتَهَى إِلَـى مَا سَـمِـعَ وَلَكِنْ حَدَّثَنَا ابْنُ عَبَّاسٍ عَنِ النَّبِـيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ عُرِضَتْ عَلَـيَّ اْلأُمَـمُ فَرَأَيْتُ النَّبِـيَّ وَ مَعَهُ الرَّهَيْطُ وَ النَّبِـيَّ وَ مَعَهُ الرَّجُلُ وَ الرَّجُلاَنِ وَ النَّبِـيَّ لَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ إِذْ رُفِعَ لِـي سَوَادٌ عَظِيمٌ فَظَنَنْتُ أَنَّهُمْ أُمَّتِـي فَقِيلَ لِـي هَذَا مُوسَـى عَلَيْهِ السَّلاَمَ وَ قَوْمُهُ وَ لَكِنِ انْظُرْ إِلَـى اْلأُفُقِ فَنَظَرْتُ فَإِذَا سَوَادٌ عَظِيمٌ فَقِيلَ لِـي انْظُرْ إِلَـى اْلأُفُقِ اْلآخَرِ فإِذَا سَـوَادٌ عَظِيمٌ فَقِيلَ لِـي هَذِهِ أُمَّتُكَ وَ مَعَهُمْ سَبْعُونَ أَلْفًا يَدْخُلُونَ الْـجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلاَ عَذَابٍ ثُـمَّ نَهَضَ فَدَخَلَ مَنْزِلَهُ فَخَاضَ النَّاسُ فِـي أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْخُلُونَ الْـجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلاَ عَذَابٍ فَقَالَ بَعْضُهُمْ فَلَعَلَّهُمُ الَّذِينَ صَحِبُوا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَقَالَ بَعْضُهُمْ فَلَعَلَّهُمُ الَّذِينَ وُلِدُوا فِـي اْلإِسْلاَمِ وَ لَـمْ يُشْرِكُوا بِاللهِ وَ ذَكَرُوا أَشْيَاءَ فَـخَرَخَ عَلَيْهِمْ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَقَالَ مَا الَّذِي تَـخُوضُونَ فِـيهِ فَأَخْبَرُوهُ فَقَالَ هُمُ الَّذِينَ لاَ يَرْقُونَ وَلاَ يَسْتَرْقُونَ وَ لاَ يَتَطَيَّرُونَ وَ عَلَى رَبِّـهِمْ يَتَوَكَّلُونَ فَقَامَ عُكَّاشَةُ بْنُ مِـحْصَنٍ فَقَالَ ادْعُ اللهَ أَنْ يَـجْعَلَنِي مِنْهُمْ فَقَالَ أَنْتَ مِنْهُمْ ثُـمَّ قَامَ رَجُلٌ آجَرُ فَقَالَ ادْعُ اللهَ أَنْ يَـجْعَلَنِي مِنْهُمْ فَقَالَ سَبَقَكَ بِـهَا عُكَّاشَةُ
Dari Hushain bin Abdurrahman berkata:
"Ketika saya berada di dekat Sa'id bin Jubair, dia berkata: "Siapakah diantara kalian yang melihat bintang jatuh semalam?"
Saya menjawab:
"Saya.”
Kemudian saya berkata:
"Adapun saya ketika itu tidak dalam keadaan sholat, tetapi terkena sengatan kalajengking."
Lalu ia bertanya:
"Lalu apa yang anda kerjakan?"
Saya menjawab:
"Saya minta diruqyah"
Ia bertanya lagi:
"Apa yang mendorong anda melakukan hal tersebut?"
Jawabku:
"Sebuah hadits yang dituturkan Asy-Sya'bi kepada kami."
Ia bertanya lagi:
"Apakah hadits yang dituturkan oleh Asy-Sya'bi kepada anda?"
Saya katakan:
"Dia menuturkan hadits dari Buraidah bin Hushaib:
'Tidak ada ruqyah kecuali karena 'ain atau terkena sengatan.'."
Sa'id pun berkata:
"Alangkah baiknya orang yang beramal sesuai dengan nash yang telah didengarnya, akan tetapi Ibnu Abbas radhiyallâhu'anhu menuturkan kepada kami hadits dari Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, Beliau bersabda:
'Saya telah diperlihatkan beberapa umat oleh Allâh, lalu saya melihat seorang Nabi bersama beberapa orang, seorang Nabi bersama seorang dan dua orang dan seorang Nabi sendiri, tidak seorangpun menyertainya. Tiba-tiba ditampakkan kepada saya sekelompok orang yang sangat banyak. Lalu saya mengira mereka itu umatku, tetapi disampaikan kepada saya:
"Itu adalah Musa dan kaumnya".
Lalu tiba-tiba saya melihat lagi sejumlah besar orang, dan disampaikan kepada saya:
"Ini adalah umatmu, bersama mereka ada tujuh puluh ribu orang, mereka akan masuk surga tanpa hisab dan adzab.".'
Kemudian Beliau bangkit dan masuk rumah. Orang-orang pun saling berbicara satu dengan yang lainnya,
'Siapakah gerangan mereka itu?'
Ada diantara mereka yang mengatakan:
'Mungkin saja mereka itu sahabat Rasulullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.'
Ada lagi yang mengatakan:
'Mungkin saja mereka orang-orang yang dilahirkan dalam lingkungan Islam dan tidak pernah berbuat syirik terhadap Allâh.'
dan menyebutkan yang lainnya.
Ketika Rasulullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam keluar, mereka memberitahukan hal tersebut kepada beliau. Beliau bersabda:
'Mereka itu adalah orang yang tidak pernah minta diruqyah, tidak meminta di kay dan tidak pernah melakukan tathayyur serta mereka bertawakkal kepada Rabb mereka.'
Lalu Ukasyah bin Mihshon berdiri dan berkata:
'Mohonkanlah kepada Allâh, mudah-mudahan saya termasuk golongan mereka!'
Beliau menjawab:
'Engkau termasuk mereka'
Kemudian berdirilah seorang yang lain dan berkata:
'Mohonlah kepada Allâh, mudah-mudahan saya termasuk golongan mereka!'
Beliau menjawab:
'Kamu sudah didahului Ukasyah.'."


TAKHRIJ HADIST
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim.

BIOGRAFI SINGKAT RAWI DAN SAHABAT YANG TERDAPAT DALAM HADITS
  1. Hushain bin Abdurrahman, beliau adalah As-Sulami Abu Hudzail Al-Kûfi, seorang yang tsiqah. Wafat pada tahun 136 H pada usia 93 tahun.
  2. Sa'id bin Jubair, beliau adalah seorang imam yang faqih termasuk murid senior Ibnu Abbas radhiyallâhu'anhu. Periwayatannya dari Aisyah radhiyallâhu'anha dan Abu Musa adalah mursal, beliau seorang pemimpin Bani As'ad yang dibunuh oleh Al-Hajâj bin Yusuf ats-Tsaqafiy tahun 95 H dalam usia 50 tahun.
  3. Asy-Sya'bi, beliau bernama Amir bin Surahil al-Hamadani, dilahirkan pada masa kekhalifahan Umar radhiyallâhu'anhu dan termasuk tabi'in terkenal dan ahli fiqih mereka, wafat tahun 103 H.
  4. Buraaidah bin al-Hushaib, beliau adalah Ibnul Harits al-Aslamy, shahabat masyhur, wafat tahun 63 menurut pendapat Ibnu Sa'ad.
  5. Ukasyah bin Mihshon radhiyallâhu'anhu, beliau berasal dari Bani As'ad bin Khuzaimah dan termasuk pendahulu dalam Islam. Beliau hijrah dan menyaksikan perang Badar dan perang-perang lainnya. Beliau mati syahid dalam perang Riddah dibunuh Thulaihah al-Asady tahun 12 H. Kemudian Thulaihah masuk Islam setelah itu, ikut berjihad melawan Persi pada hari Al-Qadisiyah bersama Sa'ad bin Abu Waqash dan mati syahid di Waqi'atûl Jasri'al-Mashurah.


KEDUDUKAN HADITS
Hadits ini menjelaskan beberapa hal, diantaranya :
  • Pentingnya beramal dengan dalil,
  • Penjelasan tidak semua Nabi punya pengikut, dan
  • Penjelasan mengenai golongan yang masuk surga tanpa hisab dan adzab.


KETERANGAN HADITS
  1. Beramal dengan dalil.

    Hushain bin Abdurrahman terkena sengatan kalajengking, lalu meminta ruqyah dalam pengobatannya. Beliau lakukan hal itu bukan tanpa dalil. Beliau berdalil dengan hadits dari Buraidah bin al-Husaib

    "Tidak ada ruqyah kecuali karena ain atau sengatan kalajengking".

  2. Jumlah pengikut Nabi.

    Sa'id mendengar hadits dari Ibnu Abbas radhiyallâhu'anhu, berisi keterangan diperlihatkan kepada Nabi beberapa umat. Beliau melihat seorang nabi beserta pengikutnya yang jumlahnya tidak lebih dari sepuluh. Seorang nabi beserta satu atau dua orang pengikutnya, dan seorang nabi yang tidak memiliki pengikut. Kemudian diperlihatkan kepada beliau sekelompok manusia yang banyak dan ternyata adalah umat Nabi Musa 'alaihissalam. Kemudian baru diperlihatkan umat Beliau sebanyak 70 ribu orang yang masuk surga tanpa hisab dan adzab.

    Hal ini menunjukkan kebenaran itu tidak dilihat dari banyaknya pengikut.

  3. Golongan yang masuk surga tanpa hisab dan adzab.

    Mereka adalah umat Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam yang merealisasikan tauhid. Sebagaimana dalam riwayat Ibnu Fudhail:

    "Dan akan masuk surga diantara mereka 70 ribu orang."

    Demikian juga dalam hadits Abu Hurairah dalam shahihain:

    "Wajah-wajah mereka bersinar seperti sinar bulan pada malam purnama".

    Dalam hal yang sama Imam Ahmad rahimahullâh dan Baihaqi rahimahullâh meriwayatkan hadits Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu dengan lafadz:

    "Maka saya minta tambah (kepada Rabbku), kemudian Allâh memberi saya tambahan setiap seribu orang itu membawa 70 ribu orang lagi".

    Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata mengomentari sanad hadits ini:

    "Sanadnya jayyid (bagus)".

    Mereka itu adalah orang-orang yang:

A. Tidak minta diruqyah.
Demikianlah yang ada dalam shahihain. Juga pada hadits Ibnu Mas'ud radhiyallâhu'anhu dalam musnad Imam Ahmad rahimahullâh. Sedangkan dalam riwayat Imam Muslim (وَلاَ يَرْقُوْنَ ) artinya yang tidak meruqyah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
"Ini merupakan lafadz tambahan dari prasangka rawi dan Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam tidak bersabda (وَلاَ يَرْقُوْنَ ) karena Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam pernah ditanya tentang ruqyah, lalu beliau menjawab:
“Barangsiapa diantara kalian mampu memberi manfaat kepada saudaranya, maka berilah padanya manfaat"

dan bersabda:
"Boleh menggunakan ruqyah selama tidak terjadi kesyirikan padanya."

Ditambah lagi dengan amalan Jibril 'alaihissalam yang meruqyah Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dan Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam meruqyah shahabat-shahabatnya. Beliaupun menjelaskan perbedaan antara orang yang meruqyah dengan orang yang meminta diruqyah:
"Mustarqi (orang yang meminta diruqyah) adalah orang yang minta diobati, dan hatinya sedikit berpaling kepada selain Allâh. Hal ini akan mengurangi nilai tawakkalnya kepada Allâh. Sedangkan arrâqi (orang yang meruqyah) adalah orang yang berbuat baik."

Beliau berkata pula:
"Dan yang dimaksud sifat golongan yang termasuk 70 ribu itu adalah tidak meruqyah karena kesempurnaan tawakkal mereka kepada Allâh dan tidak meminta kepada selain mereka untuk meruqyahnya serta tidak pula minta di kay." Demikian pula hal ini disampaikan Ibnul Qayyim.

B. Tidak Minta di kay (وَلاَ يَكْتَوُوْنَ)
Mereka tidak minta kepada orang lain untuk mengkay sebagaimana mereka tidak minta diruqyah. Mereka menerima qadha' dan menikmati musibah yang menimpa mereka.

Syaikh Abdurrahman bin Hasan Ali Syaikh berkata:
"Sabda Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam (لاَ يَكْتَوُوْنَ) lebih umum dari pada sekedar minta di kay atau melakukannya dengan kemauan mereka.

Sedangkan hukum kay sendiri dalam Islam tidak dilarang, sebagaimana dalam hadits yang shahih dari Jabir bin Abdullah:

Bahwa Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam mengutus seorang tabib kepada Ubay bin Ka'ab, lalu dia memotong uratnya dan meng-kay-nya.

Demikan juga di jelaskan dalam shahih Bukhari dari Anas radhiyallâhu'anhu :

Anas berkata, “Bahwasanya aku mengkay bisul yang ke arah dalam sedangkan Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam masih hidup.”

Dan dalam riwayat dari Tirmidzi dan yang lainnya dari Anas:

Sesungguhnya Nabi mengkay As'ad bin Zurarah karena sengatan kalajengking Juga dalam shahih Bukhari dari Ibnu Abbas secara marfu':

“Pengobatan itu dengan tiga cara yaitu dengan berbekam, minum madu dan kay dengan api dan saya melarang umatku dari kay. (Dalam riwayat yang lain: "Dan saya tidak menyukai kay").

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, "Hadits-hadits tentang kay itu mengandung 4 hal yaitu:
  1. Perbuatan Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Hal itu menunjukkan bolehnya melakukan kay.
  2. Rasulullah tidak menyukainya. Hal itu tidak menunjukkan larangan.
  3. Pujian bagi orang yang meninggalkan. Menunjukkan meninggalkan kay itu lebih utama dan lebih baik.
  4. Larangan melakukan kay. Hal itu menunjukkan jalan pilihan dan makruhnya kay.

C. Tidak Melakukan Tathayyur
Mereka tidak merasa pesimis, tidak merasa bernasib sial atau buruk karena melihat burung atau binatang yang lainnya.

4. Mereka Bertawakal Kepada Allâh

Disebutkan dalam hadits ini, perbuatan dan kebiasaan itu bercabang dari rasa tawakkal dan berlindung serta bersandar hanya kepada Allâh.
Hal tersebut merupakan puncak realisasi tauhid yang membuahkan kedudukan yang mulia berupa mahabbah (rasa cinta), raja' (pengharapan), khauf (takut) dan ridha kepada Allâh sebagai Rabb dan Ilah serta ridha dengan qadha'-Nya.

Ketahuilah makna hadits di atas tidak menunjukkan bahwa mereka tidak mencari sebab sama sekali. Karena mencari sebab (supaya sakitnya sembuh) termasuk fitrah dan sesuatu yang tidak terpisah darinya.

Allâh Ta'ala berfirman:

"Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allâh, maka Allâh akan cukupi segala kebutuhannya."
(Ath-thalaq: 3)

Mereka meninggalkan perkara-perkara (ikhtiyar) makruh walaupun mereka sangat butuh dengan cara bertawakkal kepada Allâh. Seperti kay dan ruqyah, mereka meninggalkan hal itu karena termasuk sebab yang makruh. Apalagi perkara yang haram.

Adapun mencari sebab yang bisa menyembuhkan penyakit dengan cara yang tidak dimakruhkan, maka tidak membuat cacat dalam tawakkal.

Dengan demikian kita tidaklah meninggalkan sebab-sebab yang disyari'atkan, sebagaimana dijelaskan dalam shahihain dari Abu Hurairah radhiAllâhu’anhu secara marfu'.

”Tidaklah Allâh menurunkan suatu penyakit kecuali menurunkan obat untuknya, mengetahui obat itu orang yang mengetahuinya dan tidak tahu obat itu bagi orang yang tidak mengetahuinya.”

Dari Usamah bin Syarik dia berkata: Suatu ketika saya di sisi Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam , datanglah orang Badui dan mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kami saling mengobati?"

Beliau menjawab: "Ya, wahai hamba-hamba Allâh saling mengobatilah, sesungguhnya Ta'ala tidaklah menimpakan sesuatu kecuali Dia telah meletakkan obat baginya, kecuali satu penyakit saja, yaitu pikun.”
(HR. Ahmad)

Berkata Ibnu Qoyyim rahimahullah: Hadits-hadits ini mengandung penetapan sebab dan akibat, dan sebagai pembatal perkataan orang yang mengingkarinya.

Perintah untuk saling mengobati tidak bertentangan dengan tawakkal. Sebagaimana menolak lapar dan haus, panas dan dingin dengan lawan-lawannya (misalnya lapar dengan makan). Itu semua tidak menentang tawakkal. Bahkan tidaklah sempurna hakikat tauhid kecuali dengan mencari sebab yang telah Allâh Ta'ala jadikan sebab dengan qadar dan syar'i. Orang yang menolak sebab itu malah membuat cacat tawakkalnya.

Hakikat tawakal adalah bersandarnya hati kepada Allâh Ta’ala kepada perkara yang bermanfaat bagi hamba untuk diri dan dunianya. Maka bersandarnya hati itu harus diimbangi dengan mencari sebab. Kalau tidak berarti ia menolak hikmah dan syari'at. Maka seseorang hamba tidak boleh menjadikan kelemahannya sebagai tawakkal dan tidaklah tawakkal sebagai kelemahan.

Para ulama berselisih dalam masalah berobat, apakah termasuk mubah, lebih baik ditinggalkan atau mustahab atau wajib dilakukan? Yang masyhur menurut Imam Ahmad adalah pendapat pertama, yaitu mubah dengan dasar hadits ini dan yang semakna dengannya.

Sedangkan pendapat yang menyatakan lebih utama dilakukan adalah madzhab Syafi'i dan jumhur salaf dan khalaf serta al-Wazir Abul Midhfar, Demikian dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam Syarah Muslim. Sedangkan Madzhab Abu Hanifah menguatkan sampai mendekati wajib untuk berobat dan Madzhab Imam Malik menyatakan sama saja antara berobat dan meninggalkannya, sebagaimana disampaikan oleh Imam Malik: "Boleh berobat dan boleh juga meninggalkannya."

Dalam permasalahan ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: "Tidaklah wajib menurut jumhur para imam, sedangkan yang mewajibkan hanyalah sebagian kecil dari murid Imam Syafi'i dan Imam Ahmad.”

5. Kisah 'Ukasyah bin Mihshan 'Ukasyah
'Ukasyah bin Mihshan 'Ukasyah meminta kepada Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam supaya mendo'akannya masuk dalam golongan orang yang masuk surga tanpa hisab dan adzab.

Lalu Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjawab: "Engkau termasuk dari mereka." Sebagaimana dalam riwayat Bukhari beliau berdo'a: "Ya Allâh jadikanlah dia termasuk mereka."

Dari sini diambil sebagai dalil dibolehkan minta do'a kepada orang yang lebih utama. Kemudian temannya yang tidak disebutkan namanya meminta Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam mendo'akannya pula, tapi Rasullullah SalAllâhu ‘Alaihi Wassalam menjawab: "Engkau telah didahului 'Ukasyah."

Berkata Al-Qurthubi: "Bagi orang yang kedua keadaanya tidak seperti 'Ukasyah, oleh karena itu permintaannya tidak dikabulkan, jika dikabulkan tentu akan membuka pintu orang lain yang hadir untuk minta dido'akan dan perkara itu akan terus berlanjut. Dengan itu beliau menutup pintu tersebut dengan jawabannya yang singkat. Berkata Syaikh Abdirrahman bin Hasan Alu Syaikh: "Didalamnya terdapat penggunaan ungkapan sindiran oleh Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dan keelokkan budi pekerti Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.”


FAIDAH-FAIDAH HADITS:
  1. Beramal dengan berdasarkan dalil yang ada.
  2. Umat-umat telah ditampakkan kepada Rasulullah Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.
  3. Setiap umat dikumpulkan sendiri-sendiri bersama nabinya.
  4. Kebenaran itu tidak dilihat pada banyaknya pengikut tetapi kualitasnya.
  5. Keistimewaan umat Islam dengan kualitas dan kuantitasnya.
  6. Diperbolehkan melakukan ruqyah karena terkena ain dan sengatan.
  7. Di dalam hadits terdapat penjelasan manhaj salaf. Hal ini dapat dipahami dari perkataan Sa'id bin Jubair: "Sungguh telah berbuat baik orang yang mengamalkan hadits yang telah ia dengar." Dengan demikian jelaslah bahwa hadits yang pertama tidak bertentangan dengan hadits kedua.
  8. Tidak minta diruqyah (tidak meminta supaya lukanya ditempel dengan besi yang dipanaskan) dan tidak melakukan tathayyur adalah termasuk pengamalan tauhid yang benar.
  9. Sikap tawakkal kepada Allâh lah yang mendasari sikap tersebut
  10. Dalamnya ilmu para shahabat. Karena mereka mengetahui orang yang dinyatakan dalam hadits tersebut tidak dapat mencapai derajat dan kedudukan yang demikian kecuali dengan amalan.
  11. Gairah dan semangat para sahabat untuk berlomba-lomba mengerjakan amal kebaikan.
  12. Golongan yang masuk surga tanpa hisab dan adzab adalah yang tidak minta diruqyah, dikay dan tidak melakukan tathayyur serta bertawakkal kepada Rabb dengan sempurna.
  13. Sabda Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam : "Kamu termasuk golongan mereka," adalah salah satu tanda kenabian beliau.
  14. Keutamaan 'Ukasyah
  15. Penggunaan kata sindiran: "Kamu sudah kedahuluan 'Ukasyah." Tidak berkata: "Kamu tidak pantas untuk dimasukkan ke golongan mereka."
  16. Keelokkan budi pekerti Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.

Disadur dari: Fathul Majid Syarh Kitabut Tauhid (hal 54-62) karya Syaikh Abdir Rohman bin Hasan Alu Syaikh.

PERANG UHUD


Pengalaman pahit yang dirasakan oleh kaum Quraisy dalam perang Badar telah menyisakan luka mendalam nan menyakitkan. Betapa tidak, walaupun jumlah mereka jauh lebih besar dan perlengkapan perang mereka lebih memadai, namun ternyata mereka harus menanggung kerugian materi yang tidak sedikit.

Dan yang lebih menyakitkan mereka adalah hilangnya para tokoh mereka. Rasa sakit ini, ditambah lagi dengan tekad untuk mengembalikan pamor Suku Quraisy yang telah terkoyak dalam Perang Badar, mendorong mereka melakukan aksi balas dendam terhadap kaum Muslimin. Sehingga terjadilah beberapa peperangan setelah Perang Badar. Perang Uhud termasuk di antara peperangan dahsyat yang terjadi akibat api dendam ini. Disebut perang Uhud karena perang ini berkecamuk di dekat gunung Uhud. Sebuah gunung dengan ketinggian 128 meter kala itu, sedangkan sekarang ketinggiannya hanya 121 meter. Bukit ini berada di sebelah utara Madinah dengan jarak 5,5 km dari Masjid Nabawi.

WAKTU KEJADIAN

Para Ahli Sirah sepakat bahwa perang ini terjadi pada bulan Syawwâl tahun ketiga hijrah Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam ke Madinah. Namun mereka berselisih tentang harinya. Pendapat yang yang paling masyhûr menyebutkan bahwa perang ini terjadi pada hari Sabtu, pertengahan bulan Syawwal.


PENYEBAB PERANG


Di samping perang ini dipicu oleh api dendam sebagaimana disebutkan diawal, ada juga penyebab lain yang tidak kalah pentingnya yaitu misi menyelamatkan jalur bisnis mereka ke Syam dari kaum Muslimin yang dianggap sering mengganggu. Mereka juga berharap bisa memusnahkan kekuatan kaum Muslimin sebelum menjadi sebuah kekuatan yang dikhawatirkan akan mengancam keberadaan Quraisy.

Inilah beberapa motivasi yang melatarbelakangi penyerangan yang dilakukan oleh kaum Quraisy terhadap kaum Muslimin di Madinah.


JUMLAH PASUKAN


Kaum Quraisy sejak dini telah mempersiapkan pasukan mereka. Barang dagangan dan keuntungan yang dihasilkan oleh Abu Sufyân beserta rombongan yang selamat dari sergapan kaum Muslimin dikhususkan untuk bekal pasukan mereka dalam perang Uhud. Untuk menyukseskan misi mereka dalam perang Uhud ini, kaum Quraisy berhasil mengumpulkan 3 ribu pasukan yang terdiri dari kaum Quraisy dan suku-suku yang loyal kepada Quraisy seperti Bani Kinânah dan penduduk Tihâmah. Mereka memiliki 200 pasukan berkuda dan 700 pasukan yang memakai baju besi. Mereka mengangkat Khâlid bin al-Walîd sebagai komandan sayap kanan, sementara sayap kiri di bawah komando Ikrimah bin Abu Jahl.

Mereka juga mengajak beberapa orang wanita untuk membangkitkan semangat pasukan Quraisy dan menjaga mereka supaya tidak melarikan diri. Sebab jika ada yang melarikan diri, dia akan dicela oleh para wanita ini. Tentang jumlah wanita ini, para Ahli Sirah berbeda pendapat. Ibnu Ishâq rahimahullah menyebutkan bahwa jumlah mereka 8 orang, al-Wâqidi rahimahullah menyebutkan 14 orang, sedangkan Ibnu Sa’d rahimahullah menyebutkan 15 wanita.


MIMPI RASÛLULLÂH SHALLALLÂHU 'ALAIHI WASALLAM


Sebelum peperangan ini berkecamuk, Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam diperlihatkan peristiwa yang akan terjadi dalam perang ini melalui mimpi. Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menceritakan mimpi ini kepada para Sahabat. Beliau Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
“Saya bermimpi mengayunkan pedang lalu pedang itu patah ujungnya. Itu (isyarat-pent) musibah yang menimpa kaum Muslimin dalam Perang Uhud. Kemudian saya ayunkan lagi pedang itu lalu pedang itu baik lagi, lebih baik dari sebelumnya. Itu (isyarat –pent-) kemenangan yang Allah Ta’ala anugerahkan dan persatuan kaum Muslimin. Dalam mimpi itu saya juga melihat sapi –Dan apa yang Allah lakukan itu adalah yang terbaik- Itu (isyarat) terhadap kaum Muslimin (yang menjadi korban) dalam perang Uhud. Kebaikan adalah kebaikan yang Allah Ta’ala anugerahkan dan balasan kejujuran yang Allah Ta’ala karuniakan setelah perang Badar”.

Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menakwilkan mimpi Beliau ini dengan kekalahan dan kematian yang akan terjadi dalam Perang Uhud.

Saat mengetahui kedatangan Quraisy untuk menyerbu kaum Muslimin di Madinah, Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam mengajak para Sahabat bermusyawarah untuk mengambil tindakan terbaik. Apakah mereka tetap tinggal di Madinah menunggu dan menyambut musuh di kota Madinah ataukah mereka akan menyongsong musuh di luar Madinah?
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam cenderung mengajak para Sahabat bertahan di Madinah dan melakukan perang kota, namun sekelompok kaum Anshâr radhiallahu'anhum mengatakan,
“Wahai Nabiyullâh! Sesungguhnya kami benci berperang di jalan kota Madinah. Pada jaman jahiliyah kami telah berusaha menghindari peperangan (dalam kota), maka setelah Islam kita lebih berhak untuk menghindarinya. Cegatlah mereka (di luar Madinah) !"
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersiap untuk berangkat. Beliau mengenakan baju besi dan segala peralatan perang. Setelah menyadari keadaan, para Sahabat saling menyalahkan. Akhirnya, mereka mengatakan:
“Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menawarkan sesuatu, namun kalian mengajukan yang lain. Wahai Hamzah, temuilah Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dan katakanlah, “Kami mengikuti pendapatmu”".
Hamzah radhiallahu’anhu pun datang menemui Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dan mengatakan, ‘Wahai Rasulullâh, sesungguhnya para pengikutmu saling menyalahkan dan akhirnya mengatakan, ‘Kami mengikuti pendapatmu.’ Mendengar ucapan paman beliau ini, Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda :
‘Sesungguhnya jika seorang Nabi sudah mengenakan peralatan perangnya, maka dia tidak akan menanggalkannya hingga terjadi peperangan’.

Keputusan musyawarah tersebut adalah menghadang musuh di luar kota Madinah. Ibnu Ishâq rahimahullah dan yang lainnya menyebutkan bahwa ‘Abdullâh ibnu Salûl setuju dengan pendapat Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam untuk tetap bertahan di Madinah. Sementara at-Thabari membawakan riwayat yang berlawanan dengan riwayat Ibnu Ishâq rahimahullah, namun dalam sanad yang kedua ini ada orang yang tertuduh dan sering melakukan kesalahan. Oleh karena itu, al-Bâkiri dalam tesisnya lebih menguatkan riwayat yang dibawakan oleh Ibnu Ishâq rahimahullah.

Para Ulama Ahli Sirah menyebutkan bahwa yang memotivasi para Sahabat untuk menyongsong musuh di luar Madinah yaitu keinginan untuk menunjukkan keberanian mereka di hadapan musuh, juga keinginan untuk turut andil dalam jihad, karena mereka tidak mendapat kesempatan untuk ikut dalam Perang Badar.

Sementara, Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam lebih memilih untuk tetap tinggal dan bertahan di Madinah, karena Beliau ingin memanfaatkan bangunan-bangunan Madinah serta memanfaatkan orang-orang yang tinggal di Madinah.


PELAJARAN DARI KISAH


Kaum Muslimin yang sedang berada di daerah, jika diserbu oleh musuh, maka mereka tidak wajib menyongsong kedatangan musuh. Mereka boleh tetap memilih bertahan di rumah-rumah mereka dan memerangi musuh di sana. Ini jika strategi ini diharapkan lebih mudah untuk mengalahkan musuh. Hal ini sebagaimana yang diisyaratkan oleh Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dalam Perang Uhud.

MEMBACA SHALAWAT DENGAN MUSIK

PERTANYAAN :
Apakah Rasul atau Sahabat pada malam Jum’at melakukan shalawat dengan suara keras dan menggunakan alat musik marawis?
Terimakasih atas penjelasannya.
08564950xxxx


JAWABAN :
Kami tidak mengetahui adanya riwayat Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dan para sahabatnya mengkhususkan membaca shalawat tertentu pada malam Jum’at, dengan suara keras dan secara berjama’ah. Apalagi perbuatan tersebut sangat jelas menyelisihi Islam yang selalu menjaga ketenangan dan hak orang lain dalam ibadah. Oleh sebab itu, perbuatan ini bisa disebut sebagai perbuatan bid’ah dalam agama.
Perbuatan ini bertambah buruk, bila dijadikan sebagai kebiasaan dengan menyertakan alat musik dan liukan tubuh, hingga akal dan perasaannya hilang, sebagaimana banyak dilakukan para pengikut thariqat shufiyah.
Tentang alat musik marawis, kami juga belum mengetahuinya. Yang jelas Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam mengharamkan alat musik, sebagaimana dalam sabda beliau:
hadits
Pasti akan datang dari umatku
orang-orang yang menghalalkan zina, sutera, khamr dan alat musik.
(HR. al-Bukhari)

Untuk lebih jelas tentang permasalahan musik ini, silahkan membaca buku Ustadz Muslim al-Atsari, yang berjudul "Adakah Musik Islami?"
Mudah-mudahan penjelasan singkat ini bermanfaat.
Wallahu a’lam bish-Shawab.

AL-QUR'AN SEBAGAI MAS KAWIN

PERTANYAAN :
Apakah ada larangannya jika kitab suci al-Qur’ân dijadikan mas kawin pernikahan? Tolong dijelaskan ustadz.
(Ahmad-Zayid@ Klaten) 62828251xxxx

JAWABAN :
Mahar adalah sesuatu yang diberikan oleh suami kepada istrinya dengan sebab pernikahan. Mahar itu bisa berbentuk harta benda atau jasa.
Allâh Ta'ala berfirman:
(Qs. an-Nisâ’/4:4)
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.
(Qs. an-Nisâ’/4:4)

Mahar termasuk syarat sah pernikahan. Adapun dalil mahar berupa harta benda atau jasa, disebutkan hadits berikut ini:
hadits
hadits
Dari Sahl bin Sa’d radhiyallâhu'anhu, dia berkata:
“Seorang wanita mendatangi Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam
lalu menyatakan bahwa dia menyerahkan dirinya
untuk Allâh Ta'ala dan Rasul-Nya.
Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjawab:
“Aku (sekarang ini) tidak membutuhkan istri”.
Maka seorang laki-laki berkata: “Nikahkan aku dengannya”.
Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
”Berikan sebuah baju kepadanya!”
Dia menjawab: “Aku tidak punya”.
Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
“Berikan sesuatu kepadanya, walaupun cincin dari besi!”
Dia beralasan kepada beliau bahwa dia tidak punya.
Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
“Apa yang engkau hapal dari al-Qur’an?”.
Laki-laki itu menjawab: “Surat ini, surat ini’.
Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
“Kami telah menikahkanmu dengan wanita itu
dengan al-Qur’ân yang ada padamu”.
(HR. Bukhâri, no. 5029)

Di dalam hadits ini Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam memerintahkan laki-laki tersebut agar memberikan sesuatu barang kepada wanita yang akan dinikahi itu, baik berupa baju, cincin, atau apa saja. Dengan demikian, mahar berupa mush-haf al-Qur’ân juga dibolehkan. Barangsiapa melarangnya, maka dia harus mendatangkan dalil.
Di dalam satu riwayat Muslim disebutkan:
hadits
“Pergilah, aku telah menikahkanmu dengan wanita itu, ajarilah dia sebagian dari al-Qur’ân”.
(HR. Muslim, no. 1425)

Hadits ini juga menunjukkan bolehnya mahar yang berupa jasa, yaitu mengajarkan al-Qur’ân.
Di dalam kitab suci al-Qur’ân, Allâh Ta'ala mengisahkan mahar Nabi Musa 'alaihissalam adalah menggembalakan kambing selama 8 atau 10 tahun.
Kesimpulannya, mush-haf al-Qur’ân boleh digunakan sebagai mahar.
Wallâhu a’lam

Selasa, 08 Februari 2011

SMP IBNU HAJAR BOARDING SCHOOL

PROFIL SMP IHBS


Sampai dengan awal abad ke-21 pembangunan pendidikan masih menghadapi dampak krisis ekonomi dalam berbagai bidang kehidupan. Walaupun sejak tahun 2000 ekonomi Indonesia mulai tumbuh positif (4,8%) akibat krisis dalam kehidupan sosial dan budaya dihawatirkan masih akan memberi dampak yang kurang menguntungkan terutama untuk upaya peningkatan sumber daya manusia (SDM). Dalam keadaan krisis ini, sistem pendidikan dituntut untuk menyiapkan SDM yang bermutu, yaitu memiliki kemampuan bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Dalam era persaingan global saat ini SDM Indonesia harus menguasai keahlian yang akan terus berkembang dalam bidang ilmu, teknologi serta memiliki jiwa kewirausahaan.
Fenomena pergaulan remaja usia sekolah yang diwarnai dengan penyimpangan seksual, penggunaan narkoba dan kasus sosial lainnya merupakan realita yang terlahir dari kompleksitas kehidupan dan keresahan remaja sekolah. Peran orang tua, masyarakat, dan penyelenggara pendidikan dituntut untuk mampu mengantisispasi dan mengatasi fenomena ini. Kesadaran tersebut di atas kini sudah mulai disadari oleh sebagian masyarakat. Sehingga para orang tua tidak lagi mengejar pendidikan yang dapat mengantarkan anak-anaknya pada prestasi akademik dalam bidang ilmu dan teknologi saja, melainkan mereka berusaha mencari sekolah-sekolah yang menyelenggarakan pendidikan secara terpadu yaitu  pendidikan dalam bidang ilmu-teknologi dan pembinaan mental spiritual dengan memperhatikan perkembangan minat bakat dan kepribadian anak.
Melihat fenomena-fenomena tersebut, maka menjadi tuntutan bagi kita untuk memberikan solusi yang tepat terhadap masalah tersebut, dengan menyediakan fasilitas pendidikan yang dapat membimbing mereka ke dalam hidayah Islam dengan dasar yang benar yaitu Islam yang berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah yang shahih dengan pemahaman salafush shalih.
Alhamdulillah, di kota Jakarta dan sekitarnya saat ini sudah banyak sekolah dasar islam terpadu (SDIT), perkembangannya bagaikan jamur di musim hujan. SDIT sudah menjadi sebuah alternatif yang bisa menjawab kebutuhan masyarakat Jakarta dan sekitarnya. Namun sampai saat ini orang tua masih mengalami kesulitan mengenai kelanjutan sekolah putra-putrinya pada jenjang SMP dan SMU, keberadaannya masih jarang dan terkesan mahal, sehingga banyak diantara orang tua yang rela mengeluarkan biaya yang mahal dan harus berpisah jauh dengan anaknya di luar kota.
Sejalan dengan keadaan di atas maka Yayasan Pendidikan Islam Ibnu Hajar dengan melibatkan  banyak unsur dari praktisi pendidikan dan profesional berusaha mewujudkan pendidikan tingkat lanjutan SMP yang dapat menjadi sebuah alternatif untuk menjawab tuntutan kebutuhan masyarakat Jakarta dan sekitarnya. Hal ini kami lakukan dalam rangka mempersiapkan SDM (generasi) yang berkualitas, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki kepribadian yang mantap, sehat jasmani dan rohani, taat beribadah, memiliki pemahaman agama yang lurus sebagaimana yang dipahami oleh generasi terdahulu (shahabat dan salafus shaleh).
Bersama para pendidik yang profesional dan amanah, kami mulai merencanakan pendidikan yang integral sejak tahun 2008. Dengan memperhatikan kebutuhan masyarakat akan generasi yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi serta memiliki pemahaman agama yang baik, kami berupaya menggabungkan kurikulum nasional dengan memusatkan pada science (MIPA), bahasa dan teknlogi informasi dan komunikasi. Melalui SMP Ibnu Hajar Boarding School inilah kami yakin untuk dapat memberi solusi terbaik.

VISI DAN MISI


VISI
”Membentuk Generasi Islam yang Cerdas, Terampil, dan Bertaqwa dengan Manhaj Salafusshalih”

MISI
  1. Menanamkan aqidah, ibadah, dan akhlak yang shahih bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah menurut pemahaman Salafusshalih.
  2. Menumbuhkembangkan minat dan bakat siswa sesuai dengan potensi dan kompetensinya  sehingga memiliki keterampilan hidup.
  3. Menerapkan sistem pendidikan menyeluruh, berkelanjutan, dan seimbang.
  4. Menjalin kerjasama dengan orangtua dalam evaluasi dan pengawasan pendidikan.
  5. Menjalin kerjasama dengan lembaga, instansi, dan perusahaan yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan potensi siswa.
  6. Menjadikan Ibnu Hajar Boarding School sebagai sekolah teladan dalam hal pengembangan sistim pendidikan yang integral bagi sekolah – sekolah lain.

TUJUAN
Mempersiapkan generasi islam yang:
  1. Memiliki kekuatan aqidah yang shahih, ibadah yang benar dan memiliki budi  pekerti yang luhur (akhlaqul karimah) berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah sesuai pemahaman salafusshalih.
  2. Memiliki kemampuan menghafal Al Qur’an 3-5 Juz.
  3. Menguasai bahasa arab dan bahasa inggris serta mengaplikasikannya dalam komunikasi harian.
  4. Menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang relevan dengan perkembangan zaman.
  5. Mampu menguasai dasar-dasar teknologi informasi dan komunikasi.
  6. Berprestasi dalam bidang akademis dan non akademis.
  7. Mampu beradaptasi secara positif di tengah masyarakat.
  8. Sukses menempuh pendidikan di jenjang yang lebih tinggi.
     

    TENAGA PENDIDIK


    Tenaga pendidik SMP Ibnu Hajar Boarding School merupakan tenaga pendidik pilihan dengan pengalaman dan keterampilan yang memadai serta memiliki dedikasi yang tinggi untuk membina dan mendidik siswa-siswa SMP Ibnu Hajar Boarding School ke arah yang lebih baik sesuai dengan tuntunan syar’i.
    Tenaga pendidik SMP IHBS terdiri dari :
    S2             : 2 orang
    S1             : 8 orang
    LC             : 3 orang
    D3             : 1 orang
    Huffadz      : 2 orang

    FASILITAS


    Diantara fasilitas pendukung yang ada di SMP Ibnu Hajar Boarding School terdiri dari:
  9. Ruang Belajar
  10. Ruang Asrama full AC
  11. Laboratorium Komputer full AC
  12. Laboratorium SAINS full AC
  13. Ruang Perpustakaan full AC
  14. Gedung Pusat Administrasi
  15. Masjid dengan kapasitas 600 jama’ah
  16. Aula Makan
  17. Poliklinik
  18. Kantin
  19. Lapangan dan sarana Olahraga.Lihat selengkapnyahttp://smpihbs.sch.id/

Minggu, 06 Februari 2011

Sa'ad bin Abi Waqqas

Sa`ad bin Abī Waqqās (abjad Arab: سعد بن أبي وقاص) merupakan salah seorang yang awal masuk Islam dan salah satu sahabat penting Muhammad.


Keluarga

Ia berasal dari klan Bani Zuhrah dari suku Quraisy[1], dan paman Nabi Muhammad dari garis pihak ibu. Ia memiliki putera bernama Umar bin Sa'ad, pemimpin dari pasukan yang membunuh Husain bin Ali pada Peristiwa Karbala. Abdurrahman bin Auf, sahabat nabi yang lain, merupakan sepupu.[2]
Saad lahir dan besar di kota Mekkah. Ia dikenal sebagai pemuda yang serius dan memiliki pemikiran yang cerdas. Sosoknya tidak terlalu tinggi namun bertubuh tegap dengan potongan rambut pendek. Orang-orang selalu membandingkannya dengan singa muda. Ia berasal dari keluarga bangsawan yang kaya raya dan sangat disayangi kedua orangtuanya, terutama ibunya. Meski berasal dari Makkah, ia sangat benci pada agamanya dan cara hidup yang dianut masyarakatnya. Ia membenci praktik penyembahan berhala yang membudaya di Makkah saat itu.

Awal masuk Islam

Suatu hari dalam hidupnya, ia didatangi sosok Abu Bakar yang dikenal sebagai orang yang ramah. Ia mengajak Sa'ad menemui Nabi Muhammad di sebuah perbukitan dekat Makkah. Pertemuan itu mengesankan Sa'ad yang saat itu baru berusia 20 tahun.
Ia pun segera menerima undangan Nabi Muhammad SAW untuk menjadi salah satu penganut ajaran Islam yang dibawanya. Sa'ad kemudian menjadi salah satu sahabat yang pertama masuk Islam.
Sa'ad sendiri secara tidak langsung memiliki hubungan kekerabatan dengan Rasulullah SAW. Ibunda rasul, Aminah binti Wahhab berasal dari suku yang sama dengan Saad yaitu dari Bani Zuhrah. Karena itu Saad juga sering disebut sebagai Sa'ad of Zuhrah atau Sa'ad dari Zuhrah, untuk membedakannya dengan Sa'ad-Sa'ad lainnya.
Namun keislaman Saad mendapat tentangan keras terutama dari keluarga dan anggota sukunya. Ibunya bahkan mengancam akan bunuh diri. Selama beberapa hari, ibunda Sa'ad menolak makan dan minum sehingga kurus dan lemah. Meski dibujuk dan dibawakan makanan, namun ibunya tetap menolak dan hanya bersedia makan jika Sa'ad kembali ke agama lamanya. Namun Sa'ad berkata bahwa meski ia memiliki kecintaan luar biasa pada sang ibu, namun kecintaannya pada Allah SWT dan Rasulullah SAW jauh lebih besar lagi.
Mendengar kekerasan hati Sa'ad, sang ibu akhirnya menyerah dan mau makan kembali. Fakta ini memberikan bukti kekuatan dan keteguhan iman Sa'ad bin Abi Waqqas. Di masa-masa awal sejarah Islam, kaum Muslim mengungsi ke bukit jika hendak menunaikan salat. Kaum Quraisy selalu mengalangi mereka beribadah.
Saat tengah salat, sekelompok kaum Quraisy mengganggu dengan saling melemparkan lelucon kasar. Karena kesal dan tidak tahan, Sa'ad bin Abi Waqqas yang memukul salah satu orang Quraisy dengan tulang unta sehingga melukainya. Ini menjadi darah pertama yang tumpah akibat konflik antara umat Islam dengan orang kafir. Konflik yang kemudian semakin hebat dan menjadi batu ujian keimanan dan kesabaran umat Islam.
Setelah peristiwa itu, Rasulullah meminta para sahabat agar lebih tenang dan bersabar menghadapi orang Quraisy seperti yang difirmankan Allah SWT dalam al-Qur'an Surah Al-Muzzammil ayat 10. Cukup lama kaum Muslim menahan diri. Baru beberapa dekade kemudian, umat Islam diperkenankan melakukan perlawanan fisik kepada para orang kafir. Di barisan pejuang Islam, nama Sa'ad bin Abi Waqqas menjadi salah satu tonggak utamanya.
Ia terlibat dalam Pertempuran Badar bersama saudaranya yang bernama Umair bin Abi Waqqas yang kemudian syahid bersama 13 pejuang Muslim lainnya. Pada Pertempuran Uhud, bersama Zaid, Sa'ad terpilih menjadi salah satu pasukan pemanah terbaik Islam. Saad berjuang dengan gigih dalam mempertahankan Rasulullah SAW setelah beberapa pejuang Muslim meninggalkan posisi mereka. Sa'ad juga menjadi sahabat dan pejuang Islam pertama yang tertembak panah dalam upaya mempertahankan Islam.
Sa'ad juga merupakan salah satu sahabat yang dikarunai kekayaan yang juga banyak digunakannya untuk kepentingan dakwah. Ia juga dikenal karena keberaniannya dan kedermawanan hatinya. Sa'ad hidup hingga usianya menjelang delapan puluh tahun. Menjelang wafatnya, Sa'ad meminta puteranya untuk mengafaninya dengan jubah yang ia gunakan dalam perang Badar. Kafani aku dengan jubah ini karena aku ingin bertemu Allah SWT dalam pakaian ini,ujarnya.

Memimpin Perang melawan Kekaisaran Persia

Penolakan kaisar Persia membuat air mata Sa'ad bercucuran. Berat baginya melakukan peperangan yang harus mengorbankan banyak nyawa kaum Muslim dan non Muslim.
Kepahlawanan Sa'ad bin Abi Waqqas tertulis dengan tinta emas saat memimpin pasukan Islam melawan melawan tentara Persia di Qadissyah. Peperangan ini merupakan salah satu peperangan terbesar umat Islam.
Bersama tiga ribu pasukannya, ia berangkat menuju Qadasiyyah. Di antara mereka terdapat sembilan veteran perang Badar, lebih dari 300 mereka yang ikut serta dalam ikrar Riffwan di Hudaibiyyah, dan 300 di antaranya mereka yang ikut serta dalam memerdekakan Makkah bersama Rasulullah. Lalu ada 700 orang putra para sahabat, dan ribuan wanita yang ikut serta sebagai perawat dan tenaga bantuan.
Pasukan ini berkemah di Qadisiyyah di dekat Hira. Untuk melawan pasukan Muslim, pasukan Persia yang siap tepur berjumlah 12O ribu orang dibawah panglima perang kenamaan mereka, Rustum.
Sebelum memulai peperangan, atas instruksi Umar bin Khattab yang menjadi khalifah saat itu, Sa'ad mengirim surat kepada kaisar Persia, Yazdagird dan Rustum, yang isinya undangan untuk masuk Islam. Delegasi Muslim yang pertama berangkat adalah An-Numan bin Muqarrin yang kemudian mendapat penghinaan dan menjadi bahan ejekan Yazdagird.
Untuk mengirim surat kepada Rustum, Sa'ad mengirim delegasi yang dipimpin Rubiy bin Aamir. Kepada Rubiy, Rustum menawarkan segala kemewahan duniawi. Namun ia tidak berpaling dari Islam dan menyatakan bahwa Allah SWT menjanjikan kemewahan lebih baik yaitu surga.
Para delegasi Muslim kembali setelah kedua pemimpin itu menolak tawaran masuk Islam. Melihat hal tersebut, air mata Sa'ad bercucuran karena ia terpaksa harus berperang yang berarti mengorbankan nyawa orang Muslim dan non Muslim.
Setelah itu, untuk beberapa hari ia terbaring sakit karena tidak kuat menanggung kepedihan jika perang harus terjadi. Sa'ad tahu pasti, bahwa peperangan ini akan menjadi peperangan yang sangat keras yang akan menumpahkan darah dan mengorbankan banyak nyawa.
Ketika tengah berpikir, Sa'ad akhirnya tahu bahwa ia tetap harus berjuang. Karena itu, meskipun terbaring sakit, Sa'ad segera bangkit dan menghadapi pasukannya. Di depan pasukan Muslim, Saad mengutip Alquran Surah Al-Anbiya' ayat 105 tentang bumi yang akan dipusakai oleh orang-orang shaleh seperti yang tertulis dalam kitab Zabur.
Setelah itu, Sa'ad berganti pakaian kemudian menunaikan salat Dzuhur bersama pasukannya. Setelah itu dengan membaca takbir, Sa'ad bersama pasukan Muslim memulai peperangan. Selama empat hari, peperangan berlangsung tanpa henti dan menimbulkan korban dua ribu Muslim dan sepuluh ribu orang Persia. Peperangan Qadisiyyah merupakan salah satu peperangan terbesar dalam sejarah dunia. Pasukan Muslim memenangi peperangan itu

Sabtu, 05 Februari 2011

Anak Zina Menjadi Imam Shalat?, Membawa Anak Kecil Ke Masjid Waktu Shalat

Anak Zina Menjadi Imam Shalat?, Membawa Anak Kecil Ke Masjid Waktu Shalat

Kamis, 13 Januari 2011 14:42:21 WIB

ANAK ZINA MENJADI IMAM SHALAT?



Prtanyaan
Assalamu`alaikum. Saya pernah mendengar bahwa anak di luar nikah tidak boleh menjadi imam dalam shalat selagi ada orang lain yg bukan anak di luar nikah yg mampu menjadi imam. Apa benar demikian? Jika benar atau tidak benar apa dasar syar'inya. Atas penjelasannya saya ucapkan terima kasih. Wassalamu`alaikum.
dari pembaca As-Sunnah di Binjai – Sumatra Utara. 62819730XXXX

Jawaban.
Sesungguhnya syari’at Islam telah menjelaskan dengan lengkap tentang siapa yang lebih berhak menjadi imam di dalam shalat jama’ah, sebagaimana dijelaskan di dalam hadits di bawah ini:

عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ الأََنْصَارِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ فَإِنْ كَانُوا فِي الْقِرَاءَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ فَإِنْ كَانُوا فِي السُّنَّةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً فَإِنْ كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا ((سِنًّا)) وَلاَ يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي سُلْطَانِهِ وَلاَ يَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ

Dari Abu Mas'ûd al-Anshâri, dia berkata: Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Yang (paling berhak) menjadi imam pada satu kaum adalah yang paling banyak bacaannya (hafalannya) terhadap al-Qur'ân. Jika mereka sama di dalam bacaan (hafalan), maka yang paling berilmu terhadap Sunnah (Hadits). Jika mereka sama di dalam Sunnah, maka yang paling dahulu berhijrah. Jika mereka sama di dalam hijrah, maka yang paling dahulu masuk Islam (di dalam riwayat lain: yang paling tua umurnya). Seorang laki-laki janganlah menjadi imam di dalam wilayah kekuasaan laki-laki lain, dan janganlah dia duduk di atas permadani/tempat duduk khususnya di dalam rumahnya, kecuali dengan idzinnya". [HR. Muslim, no: 673; Abû Dâwud, no: 584; Ibnu Mâjah, no: 980; an-Nasâi, no: 780]

Inilah urutan orang yang berhak menjadi imam shalat. Pertama, orang yang paling banyak hafalan al-Qur'ân; kedua, orang yang paling berilmu terhadap Sunnah (Hadits; agama); ketiga, orang yang paling dahulu berhijrah; keempat, orang yang paling dahulu masuk Islam, atau yang paling tua umurnya.

Namun didahulukan orang yang paling banyak bacaannya (hafalannya) terhadap al-Qur'ân dengan syarat dia memahami perkara-perkara yang harus diketahui dalam urusan shalat. Jika dia tidak memahami hal itu, maka dia tidak dimajukan sebagai imam dengan kesepakatan ulama’.[1]

Demikian juga urutan di atas berlaku jika tidak ada imam tetap. Jika ada, maka imam tetap itu yang lebih berhak menjadi imam, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas "Seorang laki-laki janganlah menjadi imam pada laki-laki lain di dalam kekuasaannya"

Adapun anggapan, anak yang lahir di luar nikah tidak berhak menjadi imam shalat selama ada anak selainnya yang mampu menjadi imam, maka –sepengetahuan kami- anggapan ini tidak ada dalilnya. Setelah menjelaskan tentang kriteria yang berhak menjadi imam shalat sebagaimana keterangan hadits di atas, syaikh 'Adil bin Yusuf Al-'Azzâz: berkata “Adapun yang terdapat di dalam sebagian kitab-kitab fiqih, yang berupa kriteria-kriteria yang lain, seperti perkataan mereka: (orang yang paling berhak menjadi imam adalah) orang yang paling mulia, atau orang yang paling tampan, atau orang yang paling taqwa, atau semacam itu, maka hal itu tidak ada dalilnya”. [2]


MEMBAWA ANAK KECIL KE MASJID WAKTU SHALAT

Pertanyaan
Assalamu'alaikum, di Mushala dan di masjid ana banyak jama'ah yang membawa anak 3-5 tahun. Ketika shalat mereka bercanda dan jalan-jalan di depan orang shalat. Ini dapat mengganggu kekhusyu'kan orang yang sedang shalat. Apakah ini dapat dibenarkan ?
Nurhakim, Cibitung – Bekasi

Jawaban.
Pada asalnya membawa anak kecil ke masjid pada waktu shalat dibolehkan. Hal ini ditunjukkan oleh banyak hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam , antara lain:

عَنْ أَبِي قَتَادَةَ اْلأَنْصَارِيِّ قَالَ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَؤُمُّ النَّاسَ وَأُمَامَةُ بِنْتُ أَبِي الْعَاصِ وَهِيَ ابْنَةُ زَيْنَبَ بِنْتِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى عَاتِقِهِ فَإِذَا رَكَعَ وَضَعَهَا وَإِذَا رَفَعَ مِنْ السُّجُودِ أَعَادَهَا

Dari Abû Qatâdah Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: “Aku melihat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengimami shalat orang banyak, sedangkan Umâmah bintu Abil ‘Ash, putri Zainab putri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, berada di atas pundak beliau. Jika beliau rukû’, beliau meletakkannya, dan jika bangkit dari sujud beliau mengulanginya (yakni menaruh cucunya di pundaknya lagi-red)”. [3]

Hadits ini nyata menunjukkan kebolehan membawa anak kecil ke masjid ketika shalat. Namun yang harus diperhatikan, jangan sampai si anak mengotori masjid, seperti ngompol atau semacamnya. Demikian juga jangan sampai si anak mengganggu orang-orang yang sedang melakukan shalat. Seperti berlari-lari di masjid, berteriak-teriak, membuat gaduh, dan sebagainya.

Imam Mâlik rahimahullah meriwayatkan di dalam Muwaththa’ 1/80: “Bahwa Nabi n keluar kepada orang banyak, ketika mereka sedang shalat dengan mengeraskan suara bacaan mereka, maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الْمُصَلِّيَ يُنَاجِي رَبَّهُ فَلْيَنْظُرْ بِمَا يُنَاجِيْهِ بِهِ وَلاَ يَجْهَرْ بَعْضُكُمْ عَلَي بَعْضٍ بِالْقُرْآنِ

Sesungguhnya orang yang shalat itu berbisik kepada Penguasanya, maka hendaklah dia memperhatikan dengan apa yang bisikkan kepada-Nya. Dan janganlah sebagian kamu mengeraskan (bacaan) al-Qur’ân atas yang lain. [Dishahîhkan al-Albâni dalam Shahîhul Jâmi’ no:1951]

Bersuara keras ketika membaca al-Qur’ân sehingga mengganggu orang shalat saja dilarang, maka bagaimana jika mengganggunya dengan teriakan, kegaduhan, canda, dan sebagainya, tentu lebih terlarang. Memang anak kecil itu tidak berdosa, tetapi orang tua yang membawanya yang salah. Oleh karena itu orang tua yang akan membawa anak kecil ke masjid hendaklah memperhatikan, apakah anaknya mengganggu orang shalat atau tidak. Jika tidak, maka tidak mengapa mengajaknya; namun jika mengganggu, hendaknya dia tidak membawanya. Wallâhu a’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XIII/1430H/2009M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Lihat Fathul Bâri 2/171
[2]. Lihat Tamâmul Minnah, 1/292, karya beliau, penerbit. Muassasah Qurthûbah.
[3]. HR. Bukhâri, no. 516; Muslim, no. 543, dan ini lafazh imam Muslim.

Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz




Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz (1909 - 1999) ialah Mufti Agung Arab Saudi. Ia adalah salah seorang da'i Salafi.

Biografi

Namanya adalah: Abdul Aziz bin Abdullah bin Abdurrahman bin Muhammad bin Abdul Aali Baz. Ia dilahirkan di Riyadh, Arab Saudi pada tanggal 12 Dzulhijjah 1330 Hijriah. Pada mulanya ia bisa melihat, kemudian pada tahun 1336 H, kedua matanya menderita sakit, dan mulai melemah hingga akhirnya pada bulan Muharram tahun 1350 H kedua matanya mulai buta.

[sunting] Pendidikan

Sebagai putra seorang ulama' pendidikannya lebih banyak tertuju pada pelajaran Al-Qur'an dan Hadits dibawah bimbingan keluarganya. Kemudian
Ia belajar ilmu-ilmu syar'i dari para ulama besar di Riyadh, diantaranya :
  • Syaikh Muhammad bin Abdullathif bin Abdurrahman bin Hasan bin Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab,
  • Syaikh Shalih bin Abdul Aziz bin Abdurrahman bin Hasan bin Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab (qadhi (hakim) Riyadh),
  • Syaikh Sa’ad bin Hamd bin Faris bin ‘Athiq (qadhi Riyadh),
  • Syaikh Hamd bin Faris (wakil Baitul Mal Riyadh),
  • Syaikh Sa’ad Waqqash al-Bukhari (guru tajwidnya pada tahun 1355 H),
  • Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullathif Aalu as-Syaikh (tempat ia menimba berbagai macam disiplin ilmu Syari’at Islam mulai tahun 1347-1357 H).

[sunting] Karier

Jabatan yang pernah diembannya:
  • Qadhi (Hakim) di daerah al-Kharaj semenjak tahun 1357-1371 H,
  • Mengajar di Ma’had (Universitas)al ‘Ilmi di Riyadh pada tahun 1372 H dan fakultas Syari’ah di Riyadh setelah dibentuknya fakultas tersebut pada tahun 1373 H (dalam mata pelajaran ilmu fiqh, tauhid dan hadits, dan jabatan ini ia tekuni sampai tahun 1380 H).
  • Pada tahun 1381 H ditunjuk sebagai wakil Rektor Universitas Islam Madinah hingga tahun 1390 H, diangkat menjadi Rektor Universitas tersebut pada tahun 1390 H setelah wafatnya as-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Aalu as-Syaikh pada bulan Ramadhan 1389 H, kemudian ia tetap memegang jabatan tersebut sampai tahun 1395 H.
  • Pada tanggal 14-10-1395 H keluar Surat Keputusan Kerajaan untuk mengangkatnya sebagai pimpinan umum untuk bagian Pembahasan Ilmiyah, Fatwa Dakwah dan Irsyad (kemudian tersebut berubah menjadi Mufti Umum Kerajaan setelah dibentuknya Kementrian Urusan Islam, Waqaf, Dakwah dan Irsyad pada tahun 1414 H).
Selain itu ia menjabat sebagai anggota pada beberapa Majelis Islamiyah yang berskala internasional, seperti:
  • Anggota Perkumpulan Ulama Besar Kerajaan Arab Saudi.
  • Kepala Badan Tetap Pembahasan Ilmiyah dan Fatwa pada lembaga di atas.
  • Anggota dan kepala majelis pendiri Rabithah Alam Islami.
  • Kepala pada Majma’ al-Fiqhi al-Islami yang berpusat di Mekkah yang merupakan bagian dari Rabithah Alam Islami.
  • Anggota pada majelis tertinggi di Universitas Islam Madinah.
  • Anggota pada majelis tinggi Da’wah Islamiyah Kerajaan Arab Saudi.

[sunting] Karya Karya

Karangan-karangannya, sebagian kecilnya antara lain:
  • Al-Fawaid al-Jalilah fi al-Mabahits al-Fardhiyah
  • At-Tahdzir minal Bida’
  • Al-‘Aqidah ash-Shahihah wamaa Yudhaadhuha
  • Al-Jihad fi Sabilillah
  • Ad-Da’watu Ilallah wa Akhlaaqu ad-Du’at
  • Al-Jawabul Mufid fi Hukmi at-Tashwiir
  • Wujuubu Tahkiimi Syar’illahi wa Nabdzu maa Khaalafahu

[sunting] Wafatnya

Ia wafat pada subuh Kamis 27 Muharram 1420 H di kota Thaif, dishalatkan pada hari Jumat (28 Muharram 1420 H) di Masjid Haram, dan dimakamkan di pemakaman al-‘Adl Makkah